Makalah Asy-Syar'u Man Qablana | Ilmu Ushul Fiqh
Asy-Syar’u Man Qablana
Makalah Ilmu Ushul Fiqh
Akhiy Zulfan Afdhilla
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt. Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyanyang, yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Syar’u Man Qablana”, sebagai tugas Mata pelajaran Ushul.
Salawat dan salam semoga tercurah selalu kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. Beserta keluarga, sahabat, kerabat, dan pengikut-pengikut beliau hingga akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan baik dari segi penulisan maupun bahasa yang digunakan. Untuk itu penulis mohon maaf dan kami mengharapkan saran-saran dan kritik yang sifatnya membangun. Semoga sebuah makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dan penulis pada khususnya.
Banda Aceh, 21 Januari 2013
Penulis
Daftar Isi
Penulis
Daftar Isi
- KATA PENGANTAR. 2
- BAB I 4
- PENDAHULUAN.. 4
- A. Latar Belakang. 4
- BAB II 6
- PEMBAHASAN.. 6
- 1. Hukum Syari’at Sebelum Kita. 6
- 2. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana. 6
- 3. Macam-Macam Syar’u Man Qablana. 8
- BAB III 10
- PENUTUP. 10
- Kesimpulan. 10
- DAFTAR PUSTAKA.. 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nabi Muhammad SAW adalah sempurna bagi umatnya, baik pada zaman kerasulannya maupun zaman setelah kerasulannya berakhir. Sudah sepantasnya di hadapan kita semua bahwa Muhammad adalah sosok fiqur yang Ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa sebelum dan sesudah terutus), karena beliau adalah seorang Nabi, Nabi terakhir yang diutus kepada semua umat manusia dilapisan dunia ini. Beliau juga sosok yang rajin dan taat dalam beribadah. Beliau juga tak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya, lingkungan orang-orang Jahiliyah yang suka minuman keras, dan main perempuan. Terkaita dengan kerasulan Nabi Muhammad yang merupakan Nabi penutup dimana terdapat Nabi-Nabi sebelumnya yang juga membawa risalah Allah SWT ada sebua pertanyaan kecil dibenak kita, terkait dengan peribadatan beliau. Benarkah beliau mengikuti syariat Nabi sebelumnya, sebelum beliau diutus? Kalau benar, syariat Nabi siapa yang diikuti oleh beliau? Terkait dengan pertanyaan tersebut ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa beliau sebelum diutus mengikuti mengikuti syariat nabi sebelumnya. Namun untuk lebih memperjelas tentang syari’at yang di bawa oleh Nabi-nabi terdahulu atau yang kita kenal dengan istilah Syar’u Man Qablana ini akan dibahas lebih lanjut.
Batasan Masalah
Ada beberapa Pokus kajian tema ini adalah identifikasi syari’u Man Qablana, apakah ditegaskan kembali dimasa setelahnya, pendapat para Ulama tentang kehujjahannya serta identifikasi macam-macam Syar’u Man Qablana.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan makalah singkat ini diantaranya :
1. Hukum Syari’at Sebelum Kita
Jika Al-qur’an atau sunnah yang sohih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan kepada umat yang dahulu melalui para Rosul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut juga ditujukan kepada kita. Dengan kata lain wajib untuk diikuti. Atau dengan kata lain pula tidak ada perbedaan penadapat bahwasanya hukum tersebut merupakan syariat untuk kita dan suatau undang-udang yang wajib diikuti, berdasarkan penetapan syara’, sebagaimana firman Allah
Secara etimologis, syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah SWT, bagi umat-umat sebelum kita. Secara istilah, syar’u man qablana yaitu syari’at atau ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Apakah syariat-syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad Saw. Para ulama ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw, tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat terdahulu. Para ulama juga sepakat bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan dalam al-Quran adalah berlaku bagi umat jika ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw.
Apabila Al-qur’an dan sunnah yang sohih mengisahkan suatu hukum dan ada dalil syar’I yang menunjukkan penghapusan hukum tersebut dan mengangkatnya dari kita maka juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa hukum itu bukanlah syariat bagi kita berdasarkan dalil yang menghapuskan darinya. Misalnya sesuatu yang terdapat pada syariat Nabi Musa AS. Bahwasanya orang yang durhaka itu tidak bisa menebus dosanya kecuali ia membunuh dirinya sendiri dan bahwasanya pakaian yang terkena najis maka tidak bisa dicucikan kecuali memotong bagian yang terkena najis itu. Dan beberapa hukum lainnya yang merupakan beban yang dipikul oleh umat sebelum kita dan diangkat Allah dari kita.
2. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Telah jelas digambarkan diatas bahawa syariat terdahulu yang jelas dalilnya baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para ulama’. Namun yang diperselisishkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka seperti firman Allah.
Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakanpara ulama’.
Jumhur ulama’ Hanafiah, sebagian ulama’ Maikiyah dan syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut juga disyariatkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum yang menasakhnya alasannya mereka menganggap bahwa hal itu termasuk daripada hukum-hukum tuhan yang telah disyariatkan melalui para rosulnya dan diceritakan kepada kita. Tapi tinjauannya tetap melaluiWahyu dari Rasul bukan kitab-kitab mereka Maka orang-orang mukallaf wajib mengikutinya. Lebih jauh ulama’ hanafiah mengambil dalil bahwa yang dinamakan pembunuhan itu adalah umum dan tidak memandang apakah yang dibunuh itu muslim atau kafir dzimmi, laki-laki atau perempuan berdasarkan kemutlakan firman Allah SWT :
Sebagian ulama’ mengatakan : bahwa ia bukanlah syariat bagi kita, karena syariat kita telah menghapuskan terhadap berbagai syariat yang terdahulu, kecuali bila ada sesuatu yang menetapkannya dalam syariat kita. Namun yang benar adalah madzhab yang pertama, karena syariat kita hanya menghapuskan syariat terdahulu yang bertentangan dengan syariat kita saja, dan karena al-qur’an telah menceritakan kepada kita hukum syara’ terdahulu, tanpa disertai dengan nashyang menghapuskan kita, maka ia mengandung pengertian sebagai penetapan hukum bagi kita. Sebab ia adalah hukum ilahi yang disampaikan rosul kepada kita dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengangkatannya dari kita; dan karena al-qur’an adalah membenarkan terhadap kitab Taurat dan Injil yang ada padanya. Oleh karena itu hukum yang tidak dihapuskan pada salah satu dari keduanya berarti ditetapkan keduanya
Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS. Ada juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun, ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan Al-Baidhowi. Dan ada sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy mengatakan bahwa ulamaMutakallimin telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapapun. Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan. Akhirnya Allah mengutus beliau tahun 611 M dengan membekalinya al-Qur’an, sebagai kitab panduan bersyariat bagi beliau dan umatnya (Umat Islam). Allah juga menjadikan setiap perkataan, pekerjaan dan ketetepan beliau sebagai dasar dalam bersyariat dengan melegalkan semuanya sebagai Wahyu, yang kita kenal dengan al-Sunnah.
3. Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
b. Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari’at kita
Ada beberapa dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :
Batasan Masalah
Ada beberapa Pokus kajian tema ini adalah identifikasi syari’u Man Qablana, apakah ditegaskan kembali dimasa setelahnya, pendapat para Ulama tentang kehujjahannya serta identifikasi macam-macam Syar’u Man Qablana.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan makalah singkat ini diantaranya :
- Untuk memahami Syar’u Man Qablana dalam menggali hukum yang terdapat dalam kajian ilmu Ushul Fiqih berdasarkan pendapat para Ulama dalam merespon dan menjawab permasalahan terkait.
- Dapat mengidentifikasi syari’at yang terdahulu dan macamnya apakah juga berlaku bagi umat setelahnya.
- Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
BAB II
PEMBAHASAN
Asy-Syar’u Man Qablana
1. Hukum Syari’at Sebelum Kita
Jika Al-qur’an atau sunnah yang sohih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan kepada umat yang dahulu melalui para Rosul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut juga ditujukan kepada kita. Dengan kata lain wajib untuk diikuti. Atau dengan kata lain pula tidak ada perbedaan penadapat bahwasanya hukum tersebut merupakan syariat untuk kita dan suatau undang-udang yang wajib diikuti, berdasarkan penetapan syara’, sebagaimana firman Allah
ياايها الذين امنواكتب عليكم الصيام كماكتب على الذين من قبلكم....
“hai orang-orang yang beriman diwajibkan kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”(Al-baqarah :183)
Secara etimologis, syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah SWT, bagi umat-umat sebelum kita. Secara istilah, syar’u man qablana yaitu syari’at atau ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Apakah syariat-syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad Saw. Para ulama ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw, tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat terdahulu. Para ulama juga sepakat bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan dalam al-Quran adalah berlaku bagi umat jika ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw.
Apabila Al-qur’an dan sunnah yang sohih mengisahkan suatu hukum dan ada dalil syar’I yang menunjukkan penghapusan hukum tersebut dan mengangkatnya dari kita maka juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa hukum itu bukanlah syariat bagi kita berdasarkan dalil yang menghapuskan darinya. Misalnya sesuatu yang terdapat pada syariat Nabi Musa AS. Bahwasanya orang yang durhaka itu tidak bisa menebus dosanya kecuali ia membunuh dirinya sendiri dan bahwasanya pakaian yang terkena najis maka tidak bisa dicucikan kecuali memotong bagian yang terkena najis itu. Dan beberapa hukum lainnya yang merupakan beban yang dipikul oleh umat sebelum kita dan diangkat Allah dari kita.
2. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Telah jelas digambarkan diatas bahawa syariat terdahulu yang jelas dalilnya baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para ulama’. Namun yang diperselisishkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka seperti firman Allah.
من اجل ذلك كتبنا على بنى اسراّئيل انه من قتل نفسا بغير نفس اوفساد فىالارض فكأنماقتل الناس جميعا
“Oleh karena itu kami tetapkan suatu hukum bagi bani isroil bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membnuh orang lain atau karena berbuat kerusakan dimuka bumi maka seakan-aka ia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Al-maidah ayat : 32)
Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakanpara ulama’.
Jumhur ulama’ Hanafiah, sebagian ulama’ Maikiyah dan syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut juga disyariatkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum yang menasakhnya alasannya mereka menganggap bahwa hal itu termasuk daripada hukum-hukum tuhan yang telah disyariatkan melalui para rosulnya dan diceritakan kepada kita. Tapi tinjauannya tetap melaluiWahyu dari Rasul bukan kitab-kitab mereka Maka orang-orang mukallaf wajib mengikutinya. Lebih jauh ulama’ hanafiah mengambil dalil bahwa yang dinamakan pembunuhan itu adalah umum dan tidak memandang apakah yang dibunuh itu muslim atau kafir dzimmi, laki-laki atau perempuan berdasarkan kemutlakan firman Allah SWT :
النفس بالنفس
“Jiwa dibalas dengan jiwa”
Sebagian ulama’ mengatakan : bahwa ia bukanlah syariat bagi kita, karena syariat kita telah menghapuskan terhadap berbagai syariat yang terdahulu, kecuali bila ada sesuatu yang menetapkannya dalam syariat kita. Namun yang benar adalah madzhab yang pertama, karena syariat kita hanya menghapuskan syariat terdahulu yang bertentangan dengan syariat kita saja, dan karena al-qur’an telah menceritakan kepada kita hukum syara’ terdahulu, tanpa disertai dengan nashyang menghapuskan kita, maka ia mengandung pengertian sebagai penetapan hukum bagi kita. Sebab ia adalah hukum ilahi yang disampaikan rosul kepada kita dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengangkatannya dari kita; dan karena al-qur’an adalah membenarkan terhadap kitab Taurat dan Injil yang ada padanya. Oleh karena itu hukum yang tidak dihapuskan pada salah satu dari keduanya berarti ditetapkan keduanya
Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS. Ada juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun, ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan Al-Baidhowi. Dan ada sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy mengatakan bahwa ulamaMutakallimin telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapapun. Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan. Akhirnya Allah mengutus beliau tahun 611 M dengan membekalinya al-Qur’an, sebagai kitab panduan bersyariat bagi beliau dan umatnya (Umat Islam). Allah juga menjadikan setiap perkataan, pekerjaan dan ketetepan beliau sebagai dasar dalam bersyariat dengan melegalkan semuanya sebagai Wahyu, yang kita kenal dengan al-Sunnah.
3. Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
- Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
- Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
- Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat kita. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini (Syar’u Man Qablana) :
b. Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari’at kita
Ada beberapa dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :
1. Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalau saja telah dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam suratal-An’am ayat 90, al-Nahl ayat 123, dan surat al-Syura ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod (ص) ayat 24.
2. Kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi ”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat ”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat Nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
3. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam al-Quran, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak ada pula penjelasan yang membatalkannya.
Misal: hukuman qishahs dalam syariat Nabi Musa dalam QS. Al-Maidah: 45
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Dari sekian banyak bentuk qishash dalam ayat tsb, yang ada ketegasan berlakunya bagi umat Islam hanyalah qishash karena pembunuhan. QS. Al-Baqarah: 178
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :
1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
3. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
4. Syariat terdahulu adalah khusus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syaiat terdahulu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas nampak bagi kita akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang mengandung keselasaran dengan apa yang dibawa Nabi kita Muhammad SAW dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga yang menyalahi. Syar’u man qablana dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu :
a. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh)
b. Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita.
c. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita
Para Ulama menggunakan beberapa dalil untuk membuat ketentuan dalam mencari kehujjahan dalil syariat umat yang terdahulu apakah berlaku juga umtuk umat Nabi Muhammad. Maka pada dasarnya syariat yang ditetapkan kepada umat terdahulu dapat dikatakan relatif atau partikuker yang wajib diikuti oleh umat Nabi Muhammad. Artinya berdasarlkan kesepakatan ulama jika syari’at itu ditegaskan kembali oleh ketetapan Allah dan Rosulnya, maka syari’at tersebut wajib untuk diikuti.
Demikianlah uraian yang singkat tentang pembahasan Syar’u Man Qablana, semoga kita dapat mengambil manfaatnya dan dapat memperaktekannya dalam kehidupan yang semakin berkembang ini. Wallahu A’lam Bi al-Shwab.
Saran
Selanjutnya melalui makalah ini, saya mangajak kepada kaum muslimin dan kaum muslimat khususnya para mahasiswa agar meninjau kembali beberapa fatwa shahabat mengenai kasus-kasus hukum yang belum terdapat didalam Al-Qur’an dan sunnah rasulullah SAW. Serta dapat melihat dengan jelas beberapa perbedaan pendapat ulama tentangkedudukan sumber hukum islam yang masih diperdebatkan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
- Syafe’I, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia, 2010
- www.Slideshare.net/Lukmanul/Presentasi-ushul-fiqih-dalil-yang-tidak-disepakati diakses pada 10/12/2011
- Wahab Khalaf, Abdul. Ilmu Ushul Fiqih, Terj. Zuhri Dan Ahmad Qorib. Semarang : Dina Utama, 1994
- www.Sriastuti069.Wordpress.com/2009/17/syar’u-man-qablana.Diakses pada 10/12/2011
- Forumkajiansantrisidogiri.blogspot.com/2009/10/syar’u-manqablana-sebagai-dalil-syara’.html. diakses pada : 10/12/2012
No comments: