Biografi Abu Mansur Al-Baghdadi (Ulama yang Raja Aritmatika)


Nama lengkap Abu Mansur al-Baghdadi adalah Abu Mansur Abdul Qahir ibn Tahir ibn Muhammad al-Baghdad. Ia dikenal sebagai ahli matematika, filsafat teologi, dan sejarah. Ia menulis semua karyanya dalam bahasa Arab.

Ialah Seorang pakar dalam berbagai ilmu pengetahuan, di antaranya adalah hadis (ia pun banyak meriwayatkan hadis), kemudian akidah, fikih, ushul, farâ’idh, sastra, ‘arûdh, hisab, gramatikal dan lain-lain. Dengan kepakaran dan kesungguhannya di berbagai bidang, ia memiliki tujuh belas cabang keilmuan sekaligus menjadi guru pada bidang masing-masing.

Guru-Guru Al-Baghdâdî

Guru-gurunya antara lain adalah Abû Ishâq al-Isfarâyinî, Abû ‘Amr Ibn Najîd, Abû ‘Amr Muhammad Ibn Ja‘far Ibn Mathr, Abû Bakr al-Ismâ‘îlî, Abâ Ahmad Ibn ‘Adî, Ja‘far Ibn Muhammad al-Khayyâth.

Murid-Murid Al-Baghdâdî

Sedangkan murid-muridnya antara lain adalah Abû Bakr al-Baihaqî, Abû al-Qâsim al-Qusyairî, ‘Abdul-Ghaffâr Ibn Muhammad, Nâshir al-Marwazî, Abû al-Rajâ’ Khalaf Ibn ‘Umar.

Buah Karya Al-Baghdâdî

Selain di bidang tafsir, ia juga memiliki karya-karya di antaranya, Ushûluddîn, Fadhâ’ih al-Mu‘tazilah, Fadhâ’ih al-Karrâmiyyah, al-Farq Baina al-Firaq, al-Tahshîl Fî Ushûl al-Fiqh, Tafdhîl al-Faqîr al-Shâbir ‘Alâ al-Ghanî al-Syâkir, Ta’wîl Mutasyâbih al-Akhbâr, al-Milal wa al-Nihal, Nafyu Khalq al-Qur’ân, al-Shîfât, al-Îmân wa Ushûluh, Bulûlgh al-Mudâ ‘An Ushûl al-Hudâ, Ibthâl al-Qaul Bi al-Tawallud, al-‘Imâd Fî Mawârîts al-‘Ibâd, al-Takmilah Fî al-Hisâb, al-Riyâdh al-Mûniqah, Syarh Miftâh Ibn al-Qâsh, Naqdhu Mâ ‘Amilahû Abû ‘Abdillah al-Jurjânî FÎ Tarjîhi Madzhab Abî Hanîfah, Ahkâm al-Wath’i al-Tâmm.

Dari karya-karya yang ia tulis, kita dapat mengetahui kepakarannya di banyak bidang hadis, akidah, fikih, ushul fikih, fikih mawaris, ilmu hisab, zuhud, aliran kepercayaan, bantahannya terhadap mu‘tazilah jahmiyyah, bantahannya terhadap karramiyyah, dan lain-lain. Sehingga dari karya-karyanya ini banyak ulama pada masanya dan setelahnya memberi pujian bahwa -menurut- suatu karyanya -pada masanya- tidak ada bandingannya.

Semula, al-Baghdadi belajar ilmu hukum. Namun, ia kemudian merasa tertarik pada ilmu aritmatika dan mulai mempelajarinya. Al-Baghdadi selalu menggunakan waktunya untuk menulis sejumlah buku tentang ilmu hukum, aritmatika, matematika, dan ilmu kewarisan (faraid). Namun sayang, buku aritmatika karya al-Baghdadi tidak diketahui keberadaannya hingga kini.

Selain menguasai ilmu hukum dan aritmatika, al-Baghdadi juga pakar teologi. Ia telah menghasilkan sejumlah buku mengenai teologi, seperti Kitab al-Milal wa al-Nihal atau Ushul al-Din. Buku ini adalah sebuah risalah sistematik yang diawali dengan sifat dasar pengetahuan, penciptaan, bagaimana mengenal Sang Pencipta, dan lain-lain. Sekilas, Kitab al-Milal wa al-Nihal mirip dengan sebuah buku karya Muhammad bin Umar ar-Razi yang berjudul al-Muhassal. Namun, jika diperhatikan lebih cermat, terlihat ada perbedaan. Dalam Kitab al-Milal wa al-Nihal, al-Baghdadi menuliskan pandangannya dan nama sekte (mazhab) kepercayaan di setiap subyek. Karya ini bersifat obyektif.

Salah satu karya al-Baghdadi yang membuat namanya menglegenda adalah Kitab al-Farq Bayn al-Firaq (Buku Tentang Sekte) dan at-Takmil. At-Takmiladalah sebuah buku yang membahas cara pemecahan warisan, sedangkan Kitab al-Farq Bayn al-Firaq menjelaskan berbagai macam sekte dari sudut pandang kuno atau ortodoks. Buku ini bersifat kontroversial. Di dalam Kitab al-Farq Bayn al-Firaq terdapat sebuah bab berjudul Socrates dan Plato. Pada bab ini, al-Baghdadi membahas sejumlah masalah keislaman yang diakhiri dengan penjelasan tentang kepercayaan kaum ortodoks. Al-Baghdadi juga menghasilkan sebuah karya yang mengkritisi pemikiran dan gagasan eksploratif Ibnu Hudhayl dan Ibnu Karram. Karya tersebut berjudul The Errors of Abu Hudhayl.

Pujian Para Cendikiawan

Abû ‘Utsmân al-Shâbûnî al-Mufassir al-Muhaddits (w.449H); Abû Manshûr rahimahullah adalah seorang imam terkemuka, pakar akidah, dan sebagai “rujukan” Islam pada masanya berdasarkan kesepakatan cendikiawan, elok untaian kata-katanya, dan memiliki karya-karya langka.

‘Abdul Ghâfir Ibn Ismâ‘îl al-Imâm al-Hâfizh al-Naisaburî (w.529H); Abû Manshûr rahimahullah seorang al-Ustâdz al-Kâmil, banyak mempelajari hadis dari ahlinya, pakar di berbagai bidang, ahli akidah dan fikih, sastrawan, ahli gramatikal. Ia memiliki seorang ayah pedagang. Dan kekayaan dari perdagangan ayahnya ini, ia berikan kepada para pelajar sehingga ia sendiri akhirnya hidup sederhana. Namun ia tidak pernah mencari nafkah menggunakan ilmu-ilmunya ini. Ia seorang yang dermawan, memiliki hati dan budi pekerti yang baik.

Al-Dzahabî al-Hâfizh (w.748H); Abû Manshûr rahimahullah adalah seorang yang sangat alim yang banyak ilmunya dan menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Tâjuddîn Al-Subkî (w.771H); Abû Manshûr rahimahullah adalah seorang Imam besar, tokoh yang bekualitas, pakar dalam fikih, ushul fikih, farâ’idh, hisâb, dan akidah. Ilmunya banyak dipejari oleh tokoh-tokoh Khurasân.

Ibn Katsîr (w.774H); Abû Manshûr rahimahullah adalah seorang faqîh bermazhab Syâfi‘î, dan merupakan salah satu dari Imam dalam akidah dan fikih, sekaligus memiliki harta berlebih (dari perdagangan) yang semuanya ia bagikan kepada para pecinta ilmu.

Ungkapan Abû Manshûr rahimahullah Terpopuler

Di samping kepakarannya di banyak bidang, kemampuan Abû Manshûr rahimahullah dalam akidah sangat populer di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Di antara ungkapannya antara lain;

وأجمعوا على أنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، على خلاف قول من زعم من الشهامية والكرامية أنه مماس لعرشه

“Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah bersepakat bahwa sesungguhnya Allah subhânahu wa ta‘âlâ tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh zaman, berbeda dengan kalangan Hisyâmiyyah dan Karrâmiyyah yang mengatakan bahwa Allah saling bersentuhan dengan ‘arsy-Nya”

Beliau juga meriwayatkan perkataan Amîr al-Mu’minîn ‘Alî Ibn Abî Thâlib;

وقد قال أمير المؤمنين على رضي الله عنه إن الله تعالى خلق العرش إظهارا لقدرته لا مكانا لذاته وقال أيضا قد كان ولا مكان وهو الآن على ما كان

“Dan sungguh telah berkata Amîr al-Mu’minîn ‘Alî -semoga Allah meredhainya-, Sesungguhnya Allah ta‘âlâ menciptakan ‘arsy (makhluk Allah yang terbesar) adalah untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan menjadikannya sebagai tempat bagi Dzat-Nya. Dan ia -‘Alî- juga telah mengatakan, Allah ada (tanpa permulaan), dan ada tanpa tempat, dan Dia (Allah) sekarang tetap sebagaimana ada-Nya (yang azalî tanpa bertempat)”

Abû Manshûr rahimahullah dan Sanad Keilmuan

Sementara kalangan ada yang meragukan kebenaran perkataan Amîr al-Mu’minîn yang diriwayatkan oleh Abû Manshûr rahimahullah ini dengan alasan tidak ada keterangan sanad dari Abû Manshûr rahimahullah hingga Amîr al-Mu’minîn. Terang sekali mengapa Abû Manshûr rahimahullah tidak menampilkan sanad, yaitu lantaran kitab al-Farq Baina al-Firaq yang menampilkan riwayat ini bukanlah kitab hadis primer yang mesti ada sanadnya seperti shahîh bukhari. Sebagaimana kitab Ihyâ’ karya al-Ghazâlî yang banyak menampilkan riwayat namun tidak menyebutkan sanadnya. Hal ini sangat lumrah dalam dalam tradisi keilmuan kitab turâts.

Riwayat yang ia tampilkan dari Amîr al-Mu’minîn, yang di dalamnya juga menyindir kalangan Hisyâmiyyah (salah satu sekte syi‘ah râfidhah) dapat memberi penafsiran kepada kita bahwa salah satu sasaran Abû Manshûr rahimahullah adalah syi‘ah râfidhah yang anti terhadap para perawi hadis atau atsar dari kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Jika beliau menampilkan perawi dari perkatan Amîr al-Mu’minîn di sini tentunya kalangan syi‘ah râfidhah dengan suka rela dan senang hati namun sinis langsung menolak kebenaran perkataan ini. Oleh karena itu Abû Manshûr rahimahullah mencukupkan dengan mu‘allaq (menggugurkan sanad) langsung kepada perkataan Amîr al-Mu’minîn agar mereka mau menerima akidah ini. Dan sangat aneh juga jika ada yang mengatakan bahwa perkataan ini diadopsi dari kalangan syi‘ah. Bagaimana mungkin tuduhan ini dapat dibenarkan padahal Abû Manshûr rahimahullah termasuk orang yang keras dan tangguh dalam menentang syi‘ah. Kalaupun misalnya benar bahwa perkataan itu juga terdapat dalam literatur syi‘ah, hal ini sangat lemah untuk dikatakan bahwa Abû Manshûr rahimahullah yang seorang Imam Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah mengadopsi dari syi‘ah. Sebagaimana halnya paham musyabbihah kontemporer yang mengatakan bahwa Allah berada dan berposisi di atas ‘arsy dan menempatinya. Bukankah paham ini adalah paham syi‘ah râfidhah hisyâmiyyah dan karrâmiyyah. Bagaimana pun Abû Manshûr rahimahullah dengan ketakwaannya dan keluasan ilmu agamanya tidak akan mengadopsi akidah syi‘ah. Justru syi‘ah meyakini bahwa Allah menempati ‘arsy.

Sebagai jalan keluar lantaran tidak menggunakan sanad tertulis, Abû Manshûr rahimahullah menggunakan huruf “Qad/قد” pada kalimat “wa Qad Qâla/وقد قال” sebagai pentahqîq dan penta’kîd (memastikan dan menguatkan), yang berarti “SUNGGUH telah berkata Amîr al-Mu’minîn ‘Alî Ibn Abî Thâlib”. Inilah cara Abû Manshûr rahimahullah untuk menjelaskan keakuratan perkataan ini -khususnya terhadap syi‘ah hisyâmiyyah- agar mereka bisa mempercayai. Dan tentunya penggunaan cara ini tidak bisa sembarang orang, karena Abû Manshûr rahimahullah adalah seorang Imâm ahli hadis yang tsiqah (kredibel), ahli fikih, dan sangat wara’ serta berakhlak mulia sebagaimana pujian para imam di atas, sehingga ungkapannya untuk konteks ini dapat dipercaya. Inilah gambaran sosio historis yang dapat kita pahami dari teks.

Jika terdapat tuduhan miring terhadap Abû Manshûr rahimahullah bahwa beliau tidak memiliki sanad, hal ini sebetulnya sudah terbantahkan dengan salah satu hadis yang ia riwayatkan di atas. Selain itu beliau juga memiliki sanad lain yang dapat kita deteksi dari hadis tentang kewajiban membaca surat al-Fatihah di dalam shalat. Bahkan sanad hadis ini melalui Imam Abû al-Hasan al-Asy‘arî (w.324H) sebagaimana sanadnya dipaparkan oleh al-Subkî dalam thabaqât-nya juz.3, halaman 355. Otomatis ini juga dapat membuktikan bahwa Imam al-Asy‘arî begitupun Abû Manshûr rahimahumallah adalah ulama yang memiliki sanad keilmuan, tidak hanya di bidang-bidang lain, akan tetapi juga hadis.

Dan ternyata ketika menjelaskan polemik kehujjahan qiyâs dalam fikih antara Jumhûr Syâfi‘ìyyah dengan Dâwûd al-Zhâhirî rahimahumullah, al-Hâfizh Ibn al-Shalâh rahimahullah (w.643) menampilkan pendapat Abû Manshûr rahimahullah dengan julukan Shâhib al-Isnâd, sebagai berikut;

ونقل صاحب الإسناد أبو منصور البغدادي عن أبي علي بن أبي هريرة وطائفة من متأخري الشافعيين أنه لا اعتبار بخلافه وسائر نفاة القياس في فروع الفقه لكن يعتبر خلافهم في الأصوليات

“Dan Shâhib al-Isnâd (al-Musnid) Abû Manshûr al-Baghdâdî menukilkan dari Abû ‘Alî Ibn Abî Hurairah dan beberapa kalangan ulama syâfi‘iyyah muta’akhkhirîn, bahwa perbedaan -Dâwûd al-Zhâhirî – dan seluruh kalangan yang menafikan -kehujjahan- qiyâs, tidak dianggap dalam masalah cabang-cabang fikih. Namun berbedaan mereka dalam masalah ushûl/akidah, bisa dianggap”.

Kemudian ungkapan Abû Manshûr rahimahullah yang tidak kalah penting -sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hâfizh Ibn al-Shalâh rahimahullah- adalah;

عندي أن أول ما يجب على الإنسان هو الإقرار بكلمة الشهادتين وقبول الإسلام والعمل به، فإذا أتى بذلك حينئذ يشرع في النظر والاستدلال

“Menurutku, bahwa sesungguhnya hal yang pertama kali yang wajib bagi manusia adalah mengikrarkan dua kalimat syahadat, dan menerima agama Islam serta mengamalkannya. Maka apabila dia telah menunaikan itu semua, bolehlah baginya untuk melakukan nazhar dan istidlâl”

Diperkirakan, Abu Mansur al-Baghdadi meninggal dunia pada tahun 1037.


Sumber:
  • Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, cet.3, 1407H), vol.1, hal.128 & 168, no.328 & 427.
  • Muslim, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet.5, 2008M), hal.194, no.521.
  • Al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’i, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, cet.5, 1420H), vol.1,hal.229, no.430.
  • Abû Manshûr al-Baghdâdî, al-Farq Baina al-Firaq, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, cet.1, 1428H), hal.338.
  • Taqiyyuddîn al-Shairafî, al-Muntakhab Min Kitâb al-Siyâq Li Târîkh Naisâbûr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414H), hal.394.
  • Al-Dzahabî, Siyar A‘lâm al-Nubalâ’, (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, cet.1, 1403H), vol.17, hal.572&573.
  • Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, cet.1, 1408H), vol.12, hal.56.
  • Ibn al-Shalâh, Thabaqât al-Fuqahâ’ al-Syâfi‘iyyah, (Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, 1992M), vol.2, hal.553.
  • Ibn al-Shalâh, Fatâwâ Ibn al-Shalâh Fî al-Tafsîr wa al-Hadîts wa al-Ushûl wa al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Hadîts, cet.1, 1428H), hal.89.
  • Tâjuddîn al-Subkî, Thabaqât al-Syafi‘iyyah al-Kubrâ, (Halab: Mathba‘ah ‘Îsâ al-Bâbî al-Halabî, cet.1, 1383H), vol.5, hal.136-139.
  • Ibn Khallikân, Wafayât al-A‘yân, (Beirut: Dâr Shâdir, t.t), vol.3, hal.203.
  • http://warkopmbahlalar.com/905/mengenal-abu-manshur-%E2%80%98abdul-qahir-al-baghdadi-lebih-dekat/
  • http://serunaihati.blogspot.com/2012/11/biografi-abu-mansur-al-baghdadi-raja.html

No comments:

Powered by Blogger.