Candaan Segar Syaikh Utsaimin
Walau asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berwibawa, terkadang kewibawaannya diselingi oleh canda yang membuat orang – orang di dekatnya tidak merasa kaku bergaul dengan beliau.
Pernah terjadi kejadian unik yang membuat beliau tertawa. Suatu saat, datang kepada beliau seseorang dari salah satu negara Arab, serta – merta dia bertanya, “Apakah Anda asy-Syaikh Ibnu Utsaimin ?”
“Ya,” jawab beliau.
Orang itu pun menyambung dengan pertanyaan, “Demi Nabi, wahai Syaikh, apa hukumnya thawaf wada‘ ?”
Sebelum menjawab, karena orang itu bersumpah dengan selain nama Allah ‘Azza wa Jalla, terlebih dahulu Syaikh mengingkari kebiasaan tersebut dan mengatakan, “Wahai saudara, semoga Allah ‘Azza wa Jalla membalasi Anda dengan kebaikan. Tidak boleh bagimu mengatakan, ‘Demi Nabi’, Anda harus membiasakan diri meninggalkan kebiasaan mengucapkan kata – kata ini, karena ini adalah kalimat kesyirikan.”
Beliau juga menasihatinya dengan lembut dan bagus. Orang itu pun berterima kasih seraya berkata, “Siap, wahai Syaikh. Tetapi, apa hukum thawaf wada’ itu, demi Nabi ?”
Akhirnya Syaikh tertawa. Ternyata lisan orang tersebut memang terlalu terbiasa mengucapkan sumpah yang salah.
Di waktu lain datang kepada beliau seorang wartawan dan mengatakan, “Wahai Syaikh, kami berharap, bisa menjalankan bersama Anda hiwar (maksud si wartawan: wawancara, tetapi kata tersebut memiliki makna lain, yaitu anak unta).”
Syaikh menjawab, “Wahai anakku, hiwar itu kan anak unta. Bagaimana engkau akan menjalankannya bersama saya ?! Yang mungkin, engkau ingin melakukan muhawarah(wawancara) bersamaku.”
Unik dan Berkesan
Suatu saat seorang wanita dari Maroko menemuinya ketika di Masjidil Haram dan mengatakan, “Anda Ibnu Utsaimin ?” tanyanya.
“Ya, saya,” jawab beliau.
Wanita itu pun menukas, “Orang – orang mengatakan bahwa Anda sudah mati dan kami telah menyalati Anda dengan shalat ghaib ba’da maghrib.”
“Tidak -wallahi- inilah saya,” tegas Ibnu Utsaimin.
Wanita itu heran sambil mengatakan, “Jadi, bagaimana ?”
Dengan bercanda beliau mengatakan, “Ya, saya setiap hari mati, lalu Rabbku menghidupkanku.”
Terdiamlah wanita itu dan kaget. Sambil berpaling wanita itu mengatakan, “Syaikh telah pergi, syaikh telah pergi, syaikh telah pergi.”
Sementara itu, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin tersenyum melihatnya. Namun, Syaikh khawatir wanita itu menanggapinya serius dan salah paham. Maka beliau utus seseorang untuk memanggilnya. Setelah wanita itu datang lagi, beliau menjelaskan, “Saya tadi bercanda denganmu. Saya mati lalu hidup tiap hari. Artinya, saya tidur lalu bangun tiap hari, karena Allah berfirman,
“Allah memegang jiwa (seorang hamba) ketika matinya dan (memegang) jiwa (seorang hamba) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka, Dia tahanlah jiwa (hamba) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda – tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (az-Zumar : 42)
Menjadi tenanglah wanita tersebut. Ia berterima kasih kepada Syaikh lalu pergi.
Pernah terjadi kejadian unik yang membuat beliau tertawa. Suatu saat, datang kepada beliau seseorang dari salah satu negara Arab, serta – merta dia bertanya, “Apakah Anda asy-Syaikh Ibnu Utsaimin ?”
“Ya,” jawab beliau.
Orang itu pun menyambung dengan pertanyaan, “Demi Nabi, wahai Syaikh, apa hukumnya thawaf wada‘ ?”
Sebelum menjawab, karena orang itu bersumpah dengan selain nama Allah ‘Azza wa Jalla, terlebih dahulu Syaikh mengingkari kebiasaan tersebut dan mengatakan, “Wahai saudara, semoga Allah ‘Azza wa Jalla membalasi Anda dengan kebaikan. Tidak boleh bagimu mengatakan, ‘Demi Nabi’, Anda harus membiasakan diri meninggalkan kebiasaan mengucapkan kata – kata ini, karena ini adalah kalimat kesyirikan.”
Beliau juga menasihatinya dengan lembut dan bagus. Orang itu pun berterima kasih seraya berkata, “Siap, wahai Syaikh. Tetapi, apa hukum thawaf wada’ itu, demi Nabi ?”
Akhirnya Syaikh tertawa. Ternyata lisan orang tersebut memang terlalu terbiasa mengucapkan sumpah yang salah.
-o0o-
Di waktu lain datang kepada beliau seorang wartawan dan mengatakan, “Wahai Syaikh, kami berharap, bisa menjalankan bersama Anda hiwar (maksud si wartawan: wawancara, tetapi kata tersebut memiliki makna lain, yaitu anak unta).”
Syaikh menjawab, “Wahai anakku, hiwar itu kan anak unta. Bagaimana engkau akan menjalankannya bersama saya ?! Yang mungkin, engkau ingin melakukan muhawarah(wawancara) bersamaku.”
Unik dan Berkesan
Suatu saat seorang wanita dari Maroko menemuinya ketika di Masjidil Haram dan mengatakan, “Anda Ibnu Utsaimin ?” tanyanya.
“Ya, saya,” jawab beliau.
Wanita itu pun menukas, “Orang – orang mengatakan bahwa Anda sudah mati dan kami telah menyalati Anda dengan shalat ghaib ba’da maghrib.”
“Tidak -wallahi- inilah saya,” tegas Ibnu Utsaimin.
Wanita itu heran sambil mengatakan, “Jadi, bagaimana ?”
Dengan bercanda beliau mengatakan, “Ya, saya setiap hari mati, lalu Rabbku menghidupkanku.”
Terdiamlah wanita itu dan kaget. Sambil berpaling wanita itu mengatakan, “Syaikh telah pergi, syaikh telah pergi, syaikh telah pergi.”
Sementara itu, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin tersenyum melihatnya. Namun, Syaikh khawatir wanita itu menanggapinya serius dan salah paham. Maka beliau utus seseorang untuk memanggilnya. Setelah wanita itu datang lagi, beliau menjelaskan, “Saya tadi bercanda denganmu. Saya mati lalu hidup tiap hari. Artinya, saya tidur lalu bangun tiap hari, karena Allah berfirman,
“Allah memegang jiwa (seorang hamba) ketika matinya dan (memegang) jiwa (seorang hamba) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka, Dia tahanlah jiwa (hamba) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda – tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (az-Zumar : 42)
Menjadi tenanglah wanita tersebut. Ia berterima kasih kepada Syaikh lalu pergi.