Rindu Kepada Syaikh Utsaimin yang Terobati
Musim haji 1416 H.
Sebagaimana biasa, beliau menemui para jamaah haji, bertanya dan menjawab pertanyaan mereka. Beliau mencurahkan perhatian kepada mereka.
Suatu saat di Bandara King Abdul Azis Jeddah, beliau masuk ke ruang tunggu. Disana ada rombongan jamaah haji dari salah satu negara yang dahulu masuk wilayah Uni Soviet. Yang paling kecil diantara mereka berumur dua tahun. Tidak seorang pun dari mereka yang bisa berbicara dengan bahasa Arab.
Syaikh bertanya, kalau – kalau ada orang yang bisa berbahasa Arab yang dapat menerjemahkan apa yang hendak beliau sampaikan.Ternyata tidak didapati selain seorang anak muda warga Saudi yang menyambut mereka. Dialah yang kemudian menerjemahkan.
Di sela – sela ceramah, datang seorang anak muda dari mereka sambil berlari kecil dan meminta agar dia yang menerjemahkan. Ternyata, anak muda ini pandai berbahasa Arab dan kemudian diketahui bahwa dialah pimpinan rombongan ini. Penerjemahan lantas diambil alih.
Setelah selesai, barulah dia diberi tahu bahwa Syaikh yang dia terjemahkan nasihatnya adalah asy-Syaikh Ibnu Utsaimin. Terkejutlah ia. Kedua matanya terbelalak sambil menatap Syaikh dengan penuh keheranan. Rupa – rupanya, terjadi sesuatu yang tidak pernah dia kira sebelumnya.
Sambil terheran, dia memastikan, “Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ?”
Para pendamping Syaikh pun terheran – heran, dari mana anak muda ini tahu nama tersebut. Mereka pun mengiyakan.
Saat itulah, dengan segera, dia memeluk Syaikh erat – erat. Air mata bercucuran dari kedua matanya seraya berucap, “Asy-Syaikh al-Utsaimin.” Berulang – ulang dia ucapkan dengan dengan penuh kebahagiaan.
Segera dia mengambil pengeras suara dan mengumumkan kepada jamaah rombongannya dengan bahasa mereka yang tak dipahami, selain sebutan nama Syaikh yang terulang – ulang. Linangan air mata mereka berderai. Suara mereka bersahutan, mengulang – ulang nama ‘asy-Syaikh Ibnu Utsaimin’.
Anak muda itu lalu berkata, “Wahai Syaikh, mereka adalah murid – muridmu. Mereka bersama – sama mempelajari kitab – kitabmu di persembunyian bawah tanah saat kami dilarang mempelajari Islam. Mereka sangat rindu untuk mengucapkan salam kepadamu. Apakah anda mengizinkan ?”
Syaikh pun mengizinkan. Segeralah mereka mendatangi Syaikh, satu demi satu. Mereka kecup dahi beliau dengan air mata yang berlinangan dan mulut mereka yang terus bergumam, “Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Ibnu Utsaimin.”
Tidak ada seorang pun dari mereka tidak menangis. Mereka sangat terkesan dengan apa yang mereka dengar dan lihat. (al-Imam az-Zahid hlm.110)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa merahmati Anda dan menempatkan Anda di surga-Nya, surga Firdaus….
(Ahmad Fathonah)
Sumber :
Majalah Asy-Syari’ah No.91/VIII/1434 H/2013
Sebagaimana biasa, beliau menemui para jamaah haji, bertanya dan menjawab pertanyaan mereka. Beliau mencurahkan perhatian kepada mereka.
Suatu saat di Bandara King Abdul Azis Jeddah, beliau masuk ke ruang tunggu. Disana ada rombongan jamaah haji dari salah satu negara yang dahulu masuk wilayah Uni Soviet. Yang paling kecil diantara mereka berumur dua tahun. Tidak seorang pun dari mereka yang bisa berbicara dengan bahasa Arab.
Syaikh bertanya, kalau – kalau ada orang yang bisa berbahasa Arab yang dapat menerjemahkan apa yang hendak beliau sampaikan.Ternyata tidak didapati selain seorang anak muda warga Saudi yang menyambut mereka. Dialah yang kemudian menerjemahkan.
Di sela – sela ceramah, datang seorang anak muda dari mereka sambil berlari kecil dan meminta agar dia yang menerjemahkan. Ternyata, anak muda ini pandai berbahasa Arab dan kemudian diketahui bahwa dialah pimpinan rombongan ini. Penerjemahan lantas diambil alih.
Setelah selesai, barulah dia diberi tahu bahwa Syaikh yang dia terjemahkan nasihatnya adalah asy-Syaikh Ibnu Utsaimin. Terkejutlah ia. Kedua matanya terbelalak sambil menatap Syaikh dengan penuh keheranan. Rupa – rupanya, terjadi sesuatu yang tidak pernah dia kira sebelumnya.
Sambil terheran, dia memastikan, “Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ?”
Para pendamping Syaikh pun terheran – heran, dari mana anak muda ini tahu nama tersebut. Mereka pun mengiyakan.
Saat itulah, dengan segera, dia memeluk Syaikh erat – erat. Air mata bercucuran dari kedua matanya seraya berucap, “Asy-Syaikh al-Utsaimin.” Berulang – ulang dia ucapkan dengan dengan penuh kebahagiaan.
Segera dia mengambil pengeras suara dan mengumumkan kepada jamaah rombongannya dengan bahasa mereka yang tak dipahami, selain sebutan nama Syaikh yang terulang – ulang. Linangan air mata mereka berderai. Suara mereka bersahutan, mengulang – ulang nama ‘asy-Syaikh Ibnu Utsaimin’.
Anak muda itu lalu berkata, “Wahai Syaikh, mereka adalah murid – muridmu. Mereka bersama – sama mempelajari kitab – kitabmu di persembunyian bawah tanah saat kami dilarang mempelajari Islam. Mereka sangat rindu untuk mengucapkan salam kepadamu. Apakah anda mengizinkan ?”
Syaikh pun mengizinkan. Segeralah mereka mendatangi Syaikh, satu demi satu. Mereka kecup dahi beliau dengan air mata yang berlinangan dan mulut mereka yang terus bergumam, “Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Ibnu Utsaimin.”
Tidak ada seorang pun dari mereka tidak menangis. Mereka sangat terkesan dengan apa yang mereka dengar dan lihat. (al-Imam az-Zahid hlm.110)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa merahmati Anda dan menempatkan Anda di surga-Nya, surga Firdaus….
(Ahmad Fathonah)
Sumber :
Majalah Asy-Syari’ah No.91/VIII/1434 H/2013