Pengertian Hadits Mu'an'an dan Hadits Muannan

Friday, October 18, 2013

Definisi Hadits Mu'an'an

Pengertian dari hadits mu’an’an (مُعَنْعَن) adalah hadits yang sanadnya terdapat redaksi ‘an (dari) seseorang [Muhammad ‘Ujjaj al-Khathib, 1989, Ushul Al-Hadits Ulmuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr).].

Mu’an’an adalah suatu metode meriwayatkan hadits dengan menggunakan kata ‘an (dari),seperti ‘an fulaanin, ‘an fulaanin, ‘an fulaanin, tanpa menyebutkan kata-kata yang jelas dan meyakinkan sebagai indikasi adanya mendengar, menceritakan, atau mengabarkan dari rawi sebelumnya, namun disyaratkan harus tetap dengan menyebut nama rawi-rawinya [Al-Maliki, Prof. Dr. Muhammad Alawi. 2009. Al-Manhalu Al-lathiifu fi Ushuuli Al-Haditsi Asy-Syariif : Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 103]. Jadi hadits mu’an’an adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan menggunakan kata ‘an (عن) atau
الحَدِيْثُ المُعَنْعَنُ هُوَ الاِسْنَادُ الَّذِى فِيْهِ فُلاَنٌ عَنْ فُلاَنٍ 
Hadits Mu’an’an ialah hadits yang dalam mata rantai sanadnya ditemukan adanya kalimat Fulan dari Fulan.[ http://okuje-oku.blogspot.com/2010_01_01_archive.html]
Pendapat ulama ahli hadits dalam masalah ini terdapat dua fersi:

1. Bahwa hadits yang jalurnya (sanad ) itu menggunakan redaksi ‘an (dari) termasuk dalam kategori hadits yang sanadnya muttasil. Akan tetapi hadits mu’an’an untuk bisa dikategorikn sebagai hadits muttasil, harus memenuhi beberapa syarat. Dalam hal-hal syarat ini terdapat dua pendapat:

Syarat-syarat yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani dan sejumlah ahli hadits lain antara lain:
  1. Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
  2. Harus terdapat hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus pernah bertemu.
  3. Perawi bukan termasuk mudallis.
Syarat-syarat yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain:
  1. Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
  2. Perawi bukan termasuk mudallis.
  3. Hubungan antara yang meriwayatkan hadits cukup dengan hidup dalam satu masa dan itu dimungkinkan untuk bertemu.
2. Bahwa hadits mu’an-an termasuk dalam kategori hadits mursal. Oleh karena itu hadits mu’an-an tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.

Ketika redaksi ‘an itu pada tingkat sahabat, terdapat pemilahan. Apabila sahabat itu termasuk sahabat yang sebagian besar hidupnya senantiasa bersama dengan nabi, maka redaksi ‘an sama dengan redaksi sami’tu. Apabila sahabat itu jarang bertemu nabi, maka sanad itu perlu ditinjau ulang [Subhi Shalih, 1997, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu, (Beirut:Dar Al-Ilm Li Al-Malayin)cet. XXI.] .

Kesimpulan dari uraian diatas dapat kita klasifikasikan menjadi tiga pendapat sesuai dengan komentar Ibnu Hajar:
  • Bahwa redaksi sanad dengan ‘an posisinya sama dengan redaksihaddastana dan akhbarana.
  • Tidak dikatakan sama dengan redaksi haddastana dan akhbarana.Ketika hadits itu diriwayatkan oleh mudallis.
  • Redaksi ‘an sama dengan akhbarana dalam penerimaan hadits secara ijazah.Untuk itulah hadits yang redaksinya memakai ‘an masih dalam kategori muttasil. Akan tetapi derajat ‘an masih dibawah sami’tu.
Contoh hadis mu’an’an:

حدثنا قتيبة بن سعي حدثنا عبد العزيز الدرواردى عن العلاء عن ابيه عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الد نيا سجن المؤمن وجنة الكافر {رواه مسلم}.

Definisi Hadits Muannan

Pengertiaanya adalah hadits yang redaksi sanadnya terdapat kata anna. Ulama dalam mengomentari hadits seperti ini dapat di kalsifikasikan menjadi dua:
  1. Bahwa hadits ini sama dengan mu’an’an dari segi muttasilnya, apabila mempunyai syarat-syarat yang terdapat dalam hadits mu’an-an. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan jumhurul hadits.
  2. Hadits muannan termasuk dalam kategori hadits munqati’ sampai terdapat kejelasan bahwa murid telah mendengar. Tokoh dari pendapat ini adalah al- Bardaji. Contoh dari hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam malik dari Ibnu Shihab أن سعيد بن مسيب قال ……

Persyaratan Mu’asharah dan Liqa’

Ulama’ ahli hadits berkomentar bahwa hadits yang dalam periwayatannya menggunakan cara seperti hadits mu’an’an dan muannan, bisa berstatus sama dengan hadits muttasil dengan adanya dua syarat, yaitu [http://salehon.blogspot.com/2010/10/ulumul-hadits.html] :

1) Isytirathul Mu’asharah (اشتراط المعا صرة)
Masing-masing perawi harus hidup segenerasi dengan perawi yang menyampaikan hadits kepadanya. Maksudnya setiap tingkatan perawi harus pernah hidup dalam satu kurun waktu dengan tingkatan perawi di atasnya.

Suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari tingkat tabi’in, harus diteliti terlebih dahulu apakah beliau pernah hidup semasa dengan sahabat yang dirawikan hadits tersebut kepadanya, demikian pula perawi dari tingkat di bawahnya. Untuk itu, kita harus melihat biografi para perawi tersebut terlebih dahulu.
Sebagai contoh, misalkan Sa’id Al-Musayyab perawi dari tingkat tabi’in meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah seorang perawi dari tingkat sahabat. Setelah diteliti, Sa’id Al-Musayyab hidup pada tahun 13 H – 94 H dan adapun Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H. Dari itu maka dapat diketahui bahwa kedua perawi tersebut pernah hidup semasa, yakni di antara tahun 13 H – 57 H.

2) Isytirathul liqa’ (اشتراط اللقاء)
Selain para perawi pernah hidup dalam satu kurun waktu yang sama, masing-masing perawi harus benar-benar pernah bertemu dengan perawi yang menyampaikan hadist kepadanya.

Hal ini pun perlu diteliti kembali melalui riwayat hidup para perawinya, apakah masing-masing tingkatan para perawi tersebut pernah bertemu atau tidak. Jika setelah diteliti dan ternya kenyataannya bahwa tidak semua perawi itu pernah bertemu, maka menurut Imam Bukhari hadits itu dianggap cacat dan tidak dapat diterima untuk dijadikan sebagai hujjah.

Persyaratan mu’asharah dan liqa’ dalam periwayatan hadits sangat berkaitan dengan ilmu rijalul hadits, yaitu suatu cabang ilmu hadits yang mempelajari keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.

Oleh ulama hadits, salah satu alasan mereka lebih mengutamakan keshahihan kitab Imam Bukhari dibandingkan kitab Imam Muslim ialah Imam Bukhari mensyaratkan kedua persyaratan di atas dalam menyeleksi hadits-hadits di dalam kitabnya, adapun Imam Muslim mencukupkan pada syarat mu’asharahnya saja.[Al-Khattan, Manna’ Khalil. 2004. Mabahits fi Ulumil Hadits (Pengantar Studi Ilmu Hadits). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hal 119]

Beberapa Kitab Biografi Para Perawi Hadits

Para ulama hadits telah membukukan riwayat hidup perawi-perawi mulai dari tingkat sahabat sampai para pentakhrij hadits, di antaranya:

a. Kitab yang berkaitan khusus dengan sahabat:
  1. Kitab Ma’rifat Man Nazala minash-Shahabah Sa’iral-Buldan, karya Imam Ali bin Abdillah Al-Madini (wafat tahun 234 H). Kitab ini tidak sampai kepada kita.
  2. Al-Isti’ab fii Ma’rifaatil-Ashhaab, karya Abu ‘Umar bin Yusuf bin Abdillah yang masyhur dengan nama Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Qurthubi (wafat tahun 463 H). dan telah dicetak berulang kali, di dalamnya terdapat 4.225 biografi shahabat pria maupun wanita.
  3. Ushuudul-Ghabah fii Ma’rifati Ash-Shahabah, karya ‘Izzuddin Bul-Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Atsir Al-Jazari (wafat tahun 630 H), dicetak, di dalamnya terdapat.7554 biografi.
  4. Al-Ishaabah fii Tamyiizi Ash-Shahaabah, karya Syaikhul-Islam Al-Imam Al-Hafidh Syihabuddin Ahmad bin Ali Al-Kinani, yang masyhur dengan nama Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (wafat tahun 852 H)
b. Kitab yang disusun berdasarkan tingkat perawi, termasuk sahabat,tabi’in, dan tabi’ tabi’in:
  1. Kitab Ath-Thabaqat, karya Muhammad bin ‘Umar Al-Waqidi (wafat tahun 207 H). Ibnu Nadim telahmenyebutkannya dalam kitab Al-fahrasaat. Dan Muhammad bin Sa’ad, juru tulis Al-Waqidi, dalam bukunya Ath-Thabaqat Al-Kubra banyak menukil dari kitab tersebut.
  2. Kitab Ath-Thabaqat Al-Kubraa, karya Muhammad bin Sa’ad (wafat tahun 230 H), dicetak dalam 14 jilid.
  3. Kitab Thabaqat Al-Muhadditsiin, karya Abul-Qasim Maslamah bin Qasim Al-Andalusi (wafat tahun 353 H). [http://alatsari.wordpress.com/2007/11/05/ilmu-musthalah-hadits-bag-16/]

No comments:

Powered by Blogger.