Pengertian Hadits Shahih, Pembagiannya dan Kajiannya

Friday, October 18, 2013


Definisi Hadits Shahih

Secara bahasa (etimologi), kata ﺢ ﻴﺤﺼﻟﺍ (sehat) adalah antonim dari kata ﻢﻴﻘﺴﻟﺍ (sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz). [Taysîr Mushthalah al-Hadîts karya Mahmûd ath-Thahân]

Secara istilah (terminologi), maknanya adalah:
هُوَ الْمُسْنَدُ، الْمُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ، بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ، عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ 
“Hadits shahih adalah hadits yang musnad, bersambung sanadnya, dengan penukilan seorang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, tanpa ada keganjilan (Syudzuz) dan cacat ('Illath).”[1]
Untuk memudahkan memahami definisi tersebut, dapat dikatakan, bahwa hadits shahih adalah hadits yang mengandung syarat-syarat berikut;

Syarat-Syarat Hadits Shahih

Syarat-syarat yang menempati hadits itu ke tingkat shahih adalah:

1. Sanadnya Bersambung
setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi, bersambung dalam periwayatannya.[2]

Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.[3]

2. Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang dapt merusak harga dirinya.[4]

3. Perwainya Dhabith
Adil adalah sifat yang membawa seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri, serta menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, kefasikan dan bid’ah[5].

Dhabith (akurasi), adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadits dari gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan hadits dari gurunya itu, ia akan menga-jarkannya dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya Dhabith ini ada dua macam, yaitu;

1. Dhabith shadr, yaitu kemampuan seorang rawi untuk menetapkan apa yang telah didengarnya di dalam hati – maksudnya dapat menghafal dengan hafalan yang sempurna- sehingga memungkinkan baginya untuk menyebutkan hadits itu kapanpun dikehendaki dalam bentuk persis seperti ketika ia mendengar dari gurunya[6].

2. Dhabith kitab, yaitu terpelihara bukunya dari kesalahan, yang menjadi tempat untuk mencatat hadits atau khabar yang telah didengarnya dari salah seorang atau beberapa gurunya, dengan dikoreksikan dengan kitab asli dari guru yang ia dengarkan haditsnya, atau diperbandingkan dengan kitab-kitab yang terpercaya keshahihannya. Dan ia memelihara bukunya dari tangan-tangan orang yang hendak merusak hadits-hadits di dalam kitab-kitab lainnya.

Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya.

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.[7]

4. Tidak Syadz

Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.[8]

5. Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan demikian, yang dimaksud hadits tidak ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.

‘Illat hadis dapat terjadi baik pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad.[9]

Contoh Hadits Shahih

Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Shahih-nya jilid 4 halaman18, Kitab Al Jihad wa As Siyar, Bab Ma Ya’udzu min Al Jubni;

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ 

Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a; “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka.” 

Hadits tersebut di atas telah memenuhi persyaratan sebagai hadits shahih, karena.

1. Ada sanadnya hingga kepada Rasulullah saw. 

2. Ada persambungan sanad dari awal sanad hingga akhirnya. Anas bin Malik adalah seorang shahabat, telah mendengarkan hadits dari nabi saw. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), telah menya-takan menerima hadits dengan cara mendengar dari Anas. Mu’tamir, menyatakan menerima hadits dengan mendengar dari ayahnya. Demikian juga guru Al Bukhari yang bernama Musaddad, ia menyatakan telah mende-ngar dari Mu’tamir, dan Bukhari -rahimahullah- juga menyatakan telah mendengar hadits ini dari gurunya. 

3. Terpenuhi keadilan dan kedhabitan dalam para periwayat di dalam sanad, mulai dari shahabat, yaitu Anas bin Malik ra hingga kepada orang yang mengeluarkan hadits, yatu Imam Bukhari
  1. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau termasuk salah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan semua shahabat dinilai adil. 
  2. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), dia siqah abid (terpercaya lagi ahli ibadah). 
  3. Mu’tamir, dia siqah 
  4. Musaddad bin Masruhad, dia siqah hafid. 
  5. Al Bukhari –penulis kitab as-Shahih-, namanya adalah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, dia dinilai sebagai jabal Al hifdzi (gunungnya hafalan), dan amirul mu’minin fil hadits. 
4. Hadits ini tidak syadz (bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat)

5. Hadits ini tidak ada illah-nya

Dengan demikian jelaslah bahwa hadits tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih, Karena itulah Imam Bukhari menampilkan hadits ini di dalam kitabnya Ash Shahih.

Klasifikasi Hadits Shahih

1. Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat yang tercela.[10]

2. Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits shahih li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.
هو ماكان رواته متأخراعن درجة الحا فظ الضا بط مع كونه مشهورا بالصدق حتى 
يكون حديثه حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساو لطريقه أوارجح ما يجبر 
ذالك القصورالواقع فيه 
“Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula merupakan hadits hasan, karena adanya mutabi’ dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi shahih li-Ghairihi.”

Hukumnya

Wajib mengamalkannya menurut kesepakatan (ijma’) ulama Hadits dan para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang memiliki kapabilitas untuk itu. Dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah syari’at yang tidak boleh diberikan kesempatan bagi seorang Muslim untuk tidak mengamalkannya.

Makna Ungkapan Ulama Hadits “Hadits ini Shahîh” “Hadits ini tidak Shahîh”

Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini Shahîh” adalah bahwa lima syarat keshahihan di atas telah terealisasi padanya, tetapi dalam waktu yang sama, tidak berarti pemastian keshahihannya pula sebab bisa jadi seorang periwayat yang Tsiqah keliru atau lupa.

Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini tidak Shahîh” adalah bahwa semua syarat yang lima tersebut ataupun sebagiannya belum terealisasi padanya, namun dalam waktu yang sama bukan berarti ia berita bohong sebab bisa saja seorang periwayat yang banyak kekeliruan bertindak benar.

Apakah Ada Sanad Yang Dipastikan Merupakan Sanad Yang Paling Shahih Secara Mutlak?

Pendapat yang terpilih, bahwa tidak dapat dipastikan sanad tertentu dinyatakan secara mutlak sebagai sanad yang paling shahih sebab perbedaan tingkatan keshahihan itu didasarkan pada terpenuhinya syarat-syarat keshahihan, sementara sangat jarang terelasisasinya kualitas paling tinggi di dalam seluruh syarat-syarat keshahihan. Oleh karena itu, lebih baik menahan diri dari menyatakan bahwa sanad tertentu merupakan sanad yang paling shahih secara mutlak. Sekalipun demikian, sebagian ulama telah meriwayatkan pernyataan pada sanad-sanad yang dianggap paling shahih, padahal sebenarnya, masing-masing imam menguatkan pendapat yang menurutnya lebih kuat.

Diantara pernyataan-pernyataan itu menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling shahih adalah:
  1. Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad.
  2. Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas.
  3. Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in.
  4. Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
  5. Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Imam al-Bukhariy.

Kitab-Kitab Hadits Secara Berurut

Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan sebagai berikut:
  1. Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
  2. Shahih Muslim (w. 261 H).
  3. Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
  4. Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
  5. Mustadrok Al-hakim (w. 405).
  6. Shahih Ibn As-Sakan.
  7. Shahih Al-Abani. [maktabahmanhajsalafi.wordpress.com]

Kitab Yang Pertama Kali Ditulis Dan Hanya Memuat Hadits Shahih Saja

Kitab pertama yang hanya memuat hadits shahih saja adalah kitab Shahîh al-Bukhâriy, kemudian Shahîh Muslim. Keduanya adalah kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat (ijma’) untuk menerima keduanya.

Mana Yang Paling Shahih Diantara Keduanya?

Yang paling shahih diantara keduanya adalah Shahîh al-Bukhâriy, disamping ia paling banyak faidahnya. Hal ini dikarenakan hadits-hadist yang diriwayatkan al-Bukhariy paling tersambung sanadnya dan paling Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di dalamnya terdapat intisari-intisari fiqih dan untaian-utaian bijak yang tidak terdapat pada kitab Shahîh Muslim.

Tinjauan ini bersifat kolektif, sebab terkadang di dalam sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim lebih kuat daripada sebagian hadits-hadits al-Bukhariy.

Sekalipun demikian, ada juga para ulama yang menyatakan bahwa Shahîh Muslim lebih shahih, namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, yaitu Shahîh al-Bukhâriy lebih shahih.

Apakah Keduanya Mencantumkan Semua Hadits Shahih Dan Komitmen Terhadap Hal itu?

Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim tidak mencantumkan semua hadits ke dalam kitab Shahîh mereka ataupun berkomitmen untuk itu. Hal ini tampak dari pengakuana mereka sendiri, seperti apa yang dikatakan Imam Muslim, “Tidak semua yang menurut saya shahih saya muat di sini, yang saya muat hanyalah yang disepakati atasnya.”

Apakah Hanya Sedikit Hadits Shahih Lainnya Yang Tidak Sempat Mereka Berdua Muat?

Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang tidak dimuat mereka dari hadits-hadits shahih lainnya. Namun pendapat yang benar adalah bahwa banyak hadits-hadits shahih lainnya yang terlewati oleh mereka berdua. Imam al-Bukhariy sendiri mengakui hal itu ketika berkata, “Hadits-hadits shahih lainnya yang aku tinggalkan lebih banyak.”

Dia juga mengatakan, “Aku hafal sebanyak seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.”

Berapa Jumlah Hadits Yang Dimuat Di Dalam Kitab ash-Shahîhain?

Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits.

Di dalam Shahîh Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak lebih kurang 4000 hadits juga.

Dimana Kita Mendapatkan Hadits-Hadits Shahih Lainnya Selain Yang Tidak Tercantum Di Dalam Kitab ash-Shahîhain?

Kita bisa mendapatkannya di dalam kitab-kitab terpercaya yang masyhur seperti Shahîh Ibn Khuzaimah, Shahîh Ibn Hibbân, Mustadrak al-Hâkim, Empat Kitab Sunan, Sunan ad-Dâruquthniy, Sunan al-Baihaqiy, dan lain-lain.

Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah.

Seputar Kitab al-Mustadrak karya al-Hâkim, Shahîh Ibn Khuzaimah dan Shahîh Ibn Hibbân

al-Mustadrak karya al-Hâkim
Sebuah kitab hadits yang tebal memuat hadits-hadits yang shahih berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim) atau persyaratan salah satu dari mereka berdua sementara keduanya belum mengeluarkan hadits-hadits tersebut.

Demikian juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih sekalipun tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam hadits tersebut dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya Shahîh. Terkadang dia juga memuat hadits yang tidak shahih namun hal itu diingatkan olehnya. Beliau dikenal sebagai kelompok ulama hadits yang Mutasâhil (yang menggampang-gampangkan) di dalam penilaian keshahihan hadits.

Oleh karena itu, perlu diadakan pemantauan (follow up) dan penilaian terhadap kualitas hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Imam adz-Dzahabi telah mengadakan follow up terhadapnya dan memberikan penilaian terhadap kebanyakan hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Namun, kitab ini masih perlu untuk dilakukan pemantauan dan perhatian penuh. (Salah seorang yang juga mengadakan pemantauan dan studi terhadap hadits-hadits yang belum diberikan penilaian apapun oleh Imam adz-Dzhabi dan memberikan penilaian yang sesuai dengan kondisinya adalah Syaikh. Dr. Mahmud Mirah -barangkali sekarang ini sudah rampung-)

Shahîh Ibn Hibbân
Sistematika penulisan kitab ini tidak rapih (ngacak), ia tidak disusun per-bab ataupun per-musnad. Oleh karena itulah, beliau menamakan bukunya dengan “at-Taqâsîm Wa al-Anwâ’ ” (Klasifikasi-Klasifikasi Dan Beragam Jenis). Untuk mencari hadits di dalam kitabnya ini sangat sulit sekali. Sekalipun begitu, ada sebagian ulama Muta`akhkhirin (seperti al-Amir ‘Alâ` ad-Dîn, Abu al-Hasan ‘Ali bin Bilban, w.739 H dengan judul al-Ihsân Fî Taqrîb Ibn Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan bab-bab.

Ibn Hibbân dikenal sebagai ulama yang Mutasâhil juga di dalam menilai keshahihan hadits akan tetapi lebih ringan ketimbang al-Hâkim. (Tadrîb ar-Râwy:1/109)

Shahîh Ibn Khuzaimah
Kitab ini lebih tinggi kualitas keshahihannya dibanding Shahîh Ibn Hibbân karena penulisnya, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat berhati-hati sekali. Saking hati-hatinya, dia kerap abstain (tidak memberikan penilaian) terhadap suatu keshahihan hadits karena kurangnya pembicaraan seputar sanadnya.

Apa Saja Hadits Yang Sudah Dipastikan Shahîh Dari Hadits-Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Imam al-Bukhari Dan Muslim?

Sebagaimana yang telah kita singgung sebelumnya, bahwa Imam al-Bukhari dan Muslim tidak memuat pada kedua kitab Shahih mereka selain hadits-hadits yang shahih dan umat Islam telah menerima kedua kitab tersebut secara penuh.

Oleh karena itu, apa saja hadits-hadits yang telah dipastikan shahih dan yang diterima oleh umat Islam itu?

Jawabnya: Bahwa hadits yang diriwayatkan keduanya dengan sanad yang bersambung, maka ialah yang dipastikan shahih.

Sedangkan hadits yang dibuang pada permulaan sanad (jalur trasmisi hadits)nya satu orang periwayat atau lebih -yang dinamai dengan hadits al-Mu’allaq- dimana jenis ini di dalam shahih al-Bukhari agak banyak namun hanya terdapat pada bagian tarjamah bab (penamaan babnya) dan muqaddimahnya saja sedangkan di bagian inti bab tidak ada sama sekali. Sementara yang di dalam shahih Muslim, tidak ada satupun yang jenis itu kecuali satu hadits saja di dalam bab tentang Tayammum yang belum sempat beliau sambung sanadnya di tempat yang lain dari kitabnya itu; terhadap hadits-hadits yang kriterianya seperti hal tersebut, maka penilaian terhadapnya dan menyikapinya adalah sebagai berikut:

Hadits yang diriwayatkan dengan shîghah al-Jazm (bentuk ucapan pasti), seperti dengan ungkapan ﻝﺎﻗ (Qâla/berkata); ﺮﻣﺃ (Amara/memerintahkan) dan ﺮﻛﺫ (Dzakara/menyebutkan); maka penilaian terhadap keshahihannya didasarkan pada sumbernya (orang yang dinisbatkan kepadanya). [Artinya, bila di dalam riwayat itu dinyatakan, misalnya ﻥﻼﻓﻝﺎﻗ (si fulan berkata), maka berarti perkataan itu adalah shahih bersumber dari si fulan yang mengatakannya itu]

Hadits yang diriwayatkan tidak dengan shîghah al-Jazm seperti dengan ungkapan ﻯﻭﺮﻳ (yurwa/diriwayatkan [masa sekarang]); ﺮﻛﺬﻳ (yudzkar/disebutkan [masa sekarang]); ﻰﻜﺤﻳ (yuhka/dihikayatkan [masa sekarang]); ﻱﻭﺭ (ruwiya/diriwayatkan [masa lampau]) dan ﺮﻛﺫ (dzukira/disebutkan [masa lampau]), maka berarti hadits itu tidak dapat dinisbatkan keshahihannya dari sumbernya itu (orang yang dinisbatkan kepadanya), namun sekalipun demikian, tidak ada satupun di dalamnya hadits yang lemah karena ia sudah dimuat di dalam kitab yang bernama ash-Shahîh.
Tingkatan Keshahihan

Pada bagian yang lalu telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling shahih menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya persyaratan-persyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang shahih itu memiliki beberapa tingkatan:

Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar.

Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari jalur Rijâl (rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada sanad pertama diatas seperti riwayat Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari Anas.

Yang dibawah itu lagi tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang terbukti dinyatakan sebagai periwayat-periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Dapat juga rincian diatas dikaitkan dengan pembagian hadits shahih kepada tujuh tingkatan:
  • Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (Ini tingkatan paling tinggi)
  • Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari
  • Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim
  • Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya
  • Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya
  • Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkannya
  • Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim).

Pengertian Persyaratan asy-Syaikhân

Sebenarnya, kedua imam hadits, al-Bukhari dan Muslim tidak pernah menyatakan secara jelas (implisit) perihal persyaratan yang disyaratkan atau ditentukan oleh mereka berdua sebagai tambahan atas persyaratan-persyaratan yang telah disepakati di dalam menilai hadits yang shahih pada pembahasan sebelumnya. Akan tetapi para ulama peneliti melalui proses pemantauan (follow up) dan analisis terhadap metode-metode yang digunakan oleh keduanya mendapatkan apa yang dapat mereka anggap sebagai persyaratan yang dikemukakan oleh keduanya atau salah seorang dari keduanya.

Dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan persyaratan asy-Syaikhân atau salah satu dari keduanya adalah bahwa hadits tersebut hendaklah diriwayatkan dari jalur Rijâl (para periwayat) dari kedua kitab tersebut atau salah satu darinya dengan memperhatikan metode yang digunakan keduanya di dalam meriwayatkan hadits-hadits dari mereka.

Makna Kata “Muttafaqun ‘Alaih”

Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati oleh kedua Imam hadits, yaitu al-Bukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas keshahihannya, bukan kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn ash-Shalâh memasukkan juga ke dalam makna itu kesepakatan umat sebab umat memang sudah bersepakat untuk menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh keduanya. (‘Ulûm al-Hadîts:24)

Apakah Agar Dinilai Shahih, Hadits Tersebut Harus Merupakan Hadits ‘Azîz ?

Hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan pada setiap level periwayatannya (thabaqat sanad) tidak kurang dari dua orang periwayat. Dalam hal ini, apakah agar suatu hadits dinyatakan shahih, maka syaratnya harus paling tidak diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua periwayat pada setiap level periwayatannya?.

Pendapat yang benar, bahwa hal itu tidak disyaratkan sebab di dalam kedua kitab shahih (ash-Shahîhain) dan selain keduanya juga terdapat hadits-hadits shahih padahal ia bukan hadits ‘Aziz itu, tetapi malah hadits Gharîb (yang diriwayatkan pada oleh seorang periwayat saja).

Ada sementara kalangan ulama seperti ‘Ali al-Jubaiy, tokoh mu’tazilah dan al-Hâkim yang mengklaim hal itu namun pendapat mereka ini bertentangan dengan kesepakatan umat Islam.

FOOTNOTE

[1] Muqaddimah Ibni Sholah, h.11
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: Radja Grafindo Persada, cet. ke-III, 2002, hlm. 130.
[3] Nuruddin, Ulumul Hadits 2, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, hlm. 2.
[4] Ibid., Munzier...., lihat juga Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991, hlm. 179.
[5] Nuzhat an-Nadhr, h.51
[6] Ibid
[7] Ibid, hlm. 132.
[8] Nuruddin...hlm. 3.
[9] Munzier Suparta...., hlm. 133-134.
[10] A Qadir Hassan, Ilmu Musthalahul Hadits, Bandung: Diponegoro, 2007, hlm. 29.

SUMBER/DAFTAR PUSTAKA

No comments:

Powered by Blogger.