Memahami Cara Menerima dan Menyampaikan Hadits (Tahammulul Hadits wa 'Adauhu)

Sunday, October 06, 2013


Metode Tahammulul Hadits wa ‘Adauhu

Secara etimologi kata tahammul berasal dari kata ( mashdar): تَحَمَّلَ يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً yang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Secara terminologi tahammul adalah mengambil hadits dari seorang guru dengan cara-cara tertentu. dengan menggunakan beberapa metode-metode atau “cara-cara penerimaan hadis” (thuruq at-tahammul).

Menurut Syaikh Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al-Khathiib, Tahammul Hadiits adalah kegiatan menerima dan mendengar suatu hadits yaitu mengambil hadits dari seorang guru dengan cara-cara tertentu. Metode ini erat sekali hubungannya dengan kelayakan seorang perawi ketika ia menerima hadits dari gurunya, maksudnya adalah kepatutan seseorang untuk mendengar dan menerima hadits serta kepatutannya dalam meriwayatkan dan menyampaikan.

Sedangkan pengertian ada’, menurut etimologi adalah diambil dari kata اَدَى- يُؤْدِى- اَدَاءٌ yang berarti menyampaikan sesuatu kepada orang yang dikirim kepadanya. Adapun pengertiannya secara terminologi adalah sebuah proses meriwayatkan hadits dari seorang guru kepada muridnya, atau bisa diartikan dengan meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid. dengan menggunakan lafadz-lafadz serta “bentuk penyampaian” (shighah al-ada’) yang digunakan oleh ahli hadis.

Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa periwayatan hadis juga diklasifikasikan dalam dua bagian, yaitu menerima dan menyampaikan hadis.

1. Penerimaan Hadis ( تحمل الحديث )

Para muhaddisin memperselisihkan tentang sah atau tidaknya anak yang belum dewasa, orang yang masih dalam kekafiran dan rawi yang masih dalam keadaan fasik, disaat ia menerima hadis dari Nabi b untuk meriwayatkan hadis .

Jumhur muhaddisin berpendapat, bahwa seseorang yang me-nerima hadis sewaktu masih kanak-kanak atau masih dalam kafir atau dalam keadaan fasik dapat diterima periwayatannya, bila disampai-kannya setelah masing-masing dewasa, memeluk agama Islam dan bertobat .

2. Penyampaian Hadis ( أداء الحديث )

Dalam penyampaian hadis terjadi perbedaan dalam lafadz-lafadznya, disebabkan karena cara-cara para rawi menerima hadis dari guru yang memberikannya. Perbedaan lafadz-lafadz menyampaikan hadis, mengakibatkan perbedaan nilai suatu hadis. Misalnya suatu hadis yang diriwayatkan dengan memakai shighah sama’ (sami’tu, sami’na), tahdis (haddasany, haddasann) dan ikhbar (akhbarani, akhbarana) lebih meyakinkan kepada kita bahwa rawi-rawinya mendengar sendiri dari guru yang pernah memberikannya, dari pada kalau diriwayatkan dengan shighah ‘an’anah (an= dari, anna= sebenarnya). Sebab shighah ‘an’anah itu memberi kesimpulan adanya kemungkinan untuk menyampaikan hadis itu mendengar sendiri langsung dari gurunya atau sudah melalui orang lain. Shighah-shighah ini Insya-Allah akan kita bahas dalam metode-metode periwayatan hadis.

Syarat-Syarat Periwayatan Hadis

Syarat-syarat terpenting yang harus dipenuhi seorang perawi ketika menerima (tahammul) dan menyampaikan (ada’) hadis, agar ia memenuhi kepatutan dalam mendengar/menerima serta meriwayatkan/menyampaikan. Sehingga orang tersebut dianggap layak (ahliyah), baik kelayakan tahammul maupun ada’.

a. Kelayakan Tahammul (Penerimaan), syarat-syaratnya:
Dalam menerima hadis tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar, namun ketika menyampaikan-nya disyaratkan Islam dan baligh . Walaupun riwayat hadis seorang muslim dan baligh yang diperoleh ketika sebelum memeluk Islam atau sebelum baligh bisa diterima. Namun, meski belum baligh syaratnya harus sudah tamyiz atau mumayyiz .

Ulama berbeda pendapat tentang batas usia anak-anak, karena tergantung dari masalah tamyiz anak kecil itu. Namun demikian mereka memberikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka.

Pertama, minimal umurnya lima tahun. Pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadis Mahmud ibn ar-Rabi’ , katanya: “Aku masih ingat siraman Nabi dari timba kemukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.”

Kedua, seorang anak mampu membedakan sapi dan himar, atau sesuatu yang lain di kehidupan sekitarnya. Pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal.

Ketiga, bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama mutaqaddimin.

Dengan merujuk pendapat para ulama diatas, maka kita akan melihat bahwa mereka hampir sepakat dengan kriteria tamyiz bagi keabsahannya. Yakni bila anak mampu memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah bersetatus mumayyiz dan kegiatannya mendengar hadis dinilai absah.

b. Kelayakan Ada’ (Penyampaian), syarat-syaratnya:
Pertama, Islam; sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, dan menurut Ijma periwayatan kafir tidak sah. Bahkan berita dari seorang fasik saja kita diperintahkan untuk mengecek, apalagi berita yang dibawa orang kafir, tentu kita harus menolaknya. Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (al-Hujurat: 6).

Kedua, Baligh; maksudnya bahwa perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, yakni usia yang memungkinkannya bermimpi basah disertai dengan adanya akal sehat. Sebagian ulama mutaqad-dimin mencukupkan diri dengan menyebut syarat berakal . Sedang-kan muta’akhkhirin mensyaratkan baligh dan berakal . Didasarkan hadis Rasulullah SAW :

“Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila, sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i) .

Ketiga, ‘Adalah; yaitu sifat yang melekat pada jiwa seseorang, se-hingga ia senantiasa bertaqwa dan memelihara harga diri. Sampai jiwa kita percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar termasuk di-dalamnya . Juga sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan walau sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan dijalan, buang air kecil dijalan, berteman dengan orang-orang yang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar .

Keempat, Dhabt; yaitu keterjagaan seorang perawi menerima hadis dan memahaminya ketika mendengar maupun menghafalnya sejak menerima sampai ketika menyampaikannya kepada orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulisan. Maka Dhabt ialah:

“Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadis yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.”

Metode-metode Periwayatan Hadis

Metode-metode periwayatan hadis yang akan kita bahas pertama kali adalah tahammul, kemudian metode-metode ada’ hadis.

a. Metode tahammul hadis ada delapan ( طريقة التحمل ).
Pertama, as-Sima’ ( السماع ); mendengar, yaitu seorang guru/ahli hadis membaca hadis baik dari hafalan maupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama’, metode ini berada pada peringkat tertinggi. Ada juga yang berpendapat jika disertai dengan menulis lebih tinggi dari pada mendengar saja, karena terhindar dari kelalaian dan dekat kepada kebenaran .

Kedua, al-Qira’ah Ala as-Syeikh ( القراءة على الشيخ ); membaca di hadapan syekh, yaitu seorang membaca hadis dihadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya atau pun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti. Orang yang diberi kepercayaan dan memiliki satu naskah yang telah diteliti bisa juga untuk mendengar dari orang yang sedang membaca dihadapan guru.

Ketiga, al-Ijazah ( الإجازة ); rekomendasi, yakni seorang ahli hadis membolehkan atau memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: Saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku.

Keempat, al-Munawalah ( المناولة ); penyerahan, seorang ahli hadis memberikan sebuah hadis, beberapa hadis, atau sebuah kitab kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya agar sang murid meriwayatkan dari-nya.

Kelima, al-Mukatabah ( المكاتبة ); penulisan, seorang guru/ahli hadis menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.

Keenam, I’lâm asy-Syeikh ( إعلام الشيخ ); pemberitahuan guru, maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan dari padanya. Ulama berbeda pendapat ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya.

Ketujuh, al-Washiyyah ( الوصية ); wasiat, yaitu seorang guru mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Ulama sebagian membolehkan dan yang lain tidak membolehkan.

Kedelapan, al-Wijâdah ( الوجادة ); penemuan, yaitu seorang rawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syeikh itu, sedangkan hadis-hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh siperawi .

b. Shighat-shighat Ada’ ( صيغ الأداء ).
Hal yang sudah jelas bahwa setiap bentuk tahammul memiliki padanan bentuk ada’. Karena apa yang diterima oleh seseorang pada suatu waktu akan diberikannya pada waktu yang lain. Bahkan tahammul itu juga hasil dari ada’ sebelumnya, begitu seterusnya.

Dari metode-metode tahammul diatas, maka dalam penjelasannya juga ditempuh dengan cara yang ketat, oleh sebab itu bentuk-bentuk ada’ memiliki tingkat akurasi yang berbeda-beda, secara ilmiyah.

Pertama, seorang rawi yang menerima hadis dengan cara sima’ lafadz yang digunakan, ialah:
  • · أخبرنى، أخبرن (seorang telah mengabarkan kepadaku/kami).
  • · حدثنى،حدثنا (seseorang telah bercerita kepadaku/kami).
  • · سمعت،سمعنا (saya/kami telah mendengar).
Kedua, lafadz yang digunakan dengan cara qira’ah, contohnya:
  • · قرات عليه (aku telah membacakan dihadapannya).
  • · قُرِئَ على فلان وأنا اَسْمَعُ (dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang aku mendengarkannya).
Ketiga, lafadz yang digunakan dengan cara ijazah, contohnya:
  • · أَجَزْتُ لَكَ رِوَايَةَ الْكِتــَابِ الْفُلاَنِيِّ عَنِّى (aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si Fulan dari saya).
Keempat, lafadz yang digunakan atas dasar munawalah bersama ijazah, contohnya seperti:
  • · أنبأنى، أنبأنا (seseorang telah memberitahukan kepadaku/kami).
Kelima, lafadz mukatabah yang digunakan, seperti bila seorang guru mengirimkan surat/tulisan kepada muridnya, contohnya:
  • · قل حدّثنا فلانٌ (telah memberitahukan seseorang kepadaku).
Keenam, lafadz-lafadz untuk menyampaikan hadis yang diterima berdasarkan i’lam, seperti:
  • · أَعْلَمَنِى فُلاَنٌ قَالَ حَدَّثــَنَا... (seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya, telah berkata kepadaku...).
Ketujuh, lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadis berdasarkan wasiat, seperti:
  • · اَوْصَ اِلَىَّ فُلاَنٌ بــِكِتــَابٍ قَالَ فِيهِ حَدَّثــَنــَا اِلَى آخِرِه (seseorang telah berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berikan dalam kitab itu: “Telah bercerita padamu si Polan.”).
Kedelapan, lafadz yang digunakan untuk menyampaikan hadis yang berdasar wijâdah, seperti:
  • قَرَأْتُ بِخَطِّ فُلاَنٍ (saya telah menbaca khat seseorang).

  • Muhammad bin Mukram bin Mandzur, Lisanul Arab, (Baerut: Dar Shadir, t.t), juz 11, hal. 174
  • Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Jeddah: Makthabah al-Haramain, 1985 M), hal. 157
  • Ibrahim Musthafa, Ahmad az-Zayyat dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Dar ad-Dakwah Majma’ al-Lughat al-Arabiyyah, t,t), Hal.10
  • Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 157
  • “Ushuulul Hadiits ‘Uluumuhu wa Musthalahuhu”, karya Syaikh Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al-Khathiib, Daarul Fikr, Beirut. Edisi Indonesia, “Ushul Al-Hadits”, penerbit Gaya Media Pratama.
  • http://www.lenteraalmanar.com/studi-islam/hadist/254-periwayatan-hadis.html
  • http://muhandisun.wordpress.com/2013/11/23/metode-tahammul-hadits/

2 comments:

  1. Ada sedikit koreksi :

    Pertama, minimal umurnya lima tahun. Pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadis Muhammad ibn ar-Rabi’

    Bukan Muhammad ibn Ar-Rabi' tapi Mahmud ibn Ar-Rabi'

    Afwan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih ustadz, jazakumullah... sangat membantu... syukran jazielan...

      Delete

Powered by Blogger.