Pengertian Hadits

Sunday, October 06, 2013

Hadits Menurut Bahasa (etimologi)

Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
  1. Jadid (baru)[1] atau al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim (lama)[2]. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.[3]
  2. Qorib (yang dekat)
  3. Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya.[4] Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.[5]
Jamaknya adalah hudtsan, hidtsan dan ahadits. Jamak ahadits-jamak yang tidak menuruti qiyas dan jamak yang syad-inilah yang dipakai jamak hadits yang bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul dikatakan ahadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang lainnya.

Ada juga yang berpendapat ahadits bukanlah jamak dari hadits, melainkan merupakan isim jamaknya. Dalam hal ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar, dalam firman-Nya;
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين.
“maka hendaklah mereka mendatangkan khabar yang sepertinya jika mereka orang yang benar” (QS. At Thur; 24).
Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif)dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum dari pada hadits.[6]

Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i.[7] Oleh karena itu, menurut ahli ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits, seperti urusan pakaian.[8]

Hadits Menurut Istilah (Terminologi)

Secara terminologi, Hadits ialah:
“Segala ucapan Nabi, segala perbuatan dan keadaan[9]"
Pendapat ini hampir sama dengan Muhammad Thalib dengan mengutip pendapat Imam Suyuti. Ibnu Hajar mengartikan sesuatu yang telah datang[10]. Mahmud Thahan, Ilmu hadist adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw Perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat-Nya[11].

Menurut Munzier, hadist adalah
“segala perkataan, perbuatan, dan hal ihwalnya[12] Yang termasuk hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan- kebiasaanya.[13]
Menurut Hasbi ash-Shiddieqy,
“Segala ucapan, Segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau.Maksud keadaan di sini adalah segala yang diriwayatkan lewat sejarah tentang kelahirannya, tempat dan yang bersangkut paut dengan itu baik dibangkit, maupun sesudahnya[14].
Menurut ahli Ushul, hadits ialah segala perbuatan dan segala taqrir Nabi yang bersangkut pautnya dengan hukum.[15]
“Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw selain al Quran Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara’.”
Ulama Fiqh mendefinisikan :
“Hadits adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi Saw yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”
Menurut ulama muhaddistun menyakini bahwa apa yang disebut dengan hadits adalah segala ucapan, perbuatan, taqrir maupun hal ihwal tentang Muhammad baik ketika ia sudah diangkat menjadi Nabi dan Rasul maupun sebelum ia di angkat.[16]

كل مااثر عن النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير اوصفة خلقية او خلقية
“Hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi Saw baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat dan hal ihwal Nabi.”
Ajjaj al-Khatib mengutip pendapat Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa apa yang datang sebelum Muhammad diangkat menjadi Nabi dan Rasul tidak dapat disebut hadits.[17] Menurutnya baru dikatakan hadist, setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Penyebutan hadist sebatas ta’rif di atas menurut Banuwijaya merupakan pengertian yang sempit. Secara luasnya hadist itu memiliki cakupan yang lebih luas, tidak sebatas yang disandarkan kepada Nabi saw (hadits marfu) melainkan kepada sahabat ( Hadits Mauquf) dan Tabi’in ( Hadist Maqtu).[18]

Apalagi, jika makna hadist dikaitkan dengan ilmu fikih, maka akan terasa lebih sempit. Sebab,menurut ulama fiqih, dalam kacamata hukum, hadist dibatasi hanya pada hal-hal yang berhubungan dengan hukum saja. Hal-hal yang ada kaitannya dengan sifat basyariah Nabi, seperti cara makan, tidur. Dll tidak termasuk dalam kategori hadist.[19]

Dengan pengertian ini, segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw yang tidak ada kaitannya dengan hukum atau tidak mengandung misi kerasulannya, seperti tata cara berpakaian, tidur dan makan tidak termasuk hadist. At-thiby menyatakan, bahwa hadist ialah perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi, sahabatnya dan para Tabi’in.[20]

Abdul Wahab Ibnu Subky menyatakan bahwa
“Hadist ialah segala perkataan dan perbuatan Nabi saw”. 
Al-Allamah al-Bannany dalam ta’rif hadist taqrir tidak termasuk di dalamnya sebab taqrir sudah termasuk kepada kategori perbuatan. Ada kaidah mengatakan “tidak ada beban hukum, kecuali dalam bentuk perbuatan”.[21]

Adanya perbedaan antara Ulama Hadits dengan Ulama Ushul berdasarkan atas perbedaan cara peninjauannya.

Ulama Hadist meninjaunya, bahwa pribadi Nabi itu adalah uswatun hasanah dari berbagai aktivitasNya berupa biografinya, akhlaknya , beritanya perkataan dan perbuatannya. Sedangkan Ulama ushul melihat dari pribadi Nabi sebagai pengatur Undang-Undang, yang menciptakan dasar-dasar ijtihad, aturan hidup serta undang-undang kemaslahatan dalam penetapan hukum.[22] Pendapat ini hampir sama dengan pendapat fuqaha peninjauannya kepada seluruh perbuatan Nabi dan perkataannya menunjuk kepada hukum syar’i.

Sehubungan dengan istilah yang dikemukakan oleh ulama hadist, maka menurut Dr. Muhammad abdul Rauf, yang termasuk kategori hadist adalah sebagai berikut :

  1. Sifat-sifat Nabi yang diriwayatkan oleh para Sahabat.
  2. Perbuatan dan akhlak Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat.
  3. Perbuatan para Sahabat di hadapan Nabi yang dibiarkannya, dan tidak dicegahnya, disebut taqrir.
  4. Timbulnya berbagai pendapat Sahabat di depan Nabi, lalu beliau mengemukakan pendapatnya sendiri, atau mengakui salah satu pendapat Sahabat itu.
  5. Sabda Nabi yang keluar dari lisan beliau sendiri.
  6. Firman Allah selain al-qur’an yang disampaikan oleh nabi, yang dinamakan Hadist Qudsi.
  7. Surat-surat yang dikirimkan Nabi, baik yang dikirim kepada para Sahabat yang bertugas di daerah, maupun yang dikirim kepada pihak-pihak di luar Islam.[23]
Kalangan ulama ada yang menyatakan bahwa apa yang dikatakan hadits itu bukan hanya yang berasal dari Nabi Saw namun yang berasal dari sahabat dan tabi’in juga disebut hadits. Dengan demikian melahirkan dua macam pengertian hadits yakni pengertian terbatas, dan pengertian yang luas.

Pengertian hadits yang terbatas adalah :
“Sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya”.
Adapun pengertian hadits secara luas sebagaimana dikatakan Muhammad Mahfuzh al-Tarmizi :
“Sesungguhnya hadits itu bukan hanya yang dimarfukan kepada Nabi Muhammad Saw saja, melainkan dapat pula disebutkan pada apa yang maukuf (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat), dan pada apa yang maqthu’ (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabi’in).

Kategori Hadits

Dengan demikian kategori Hadist terbagi menjadi 4 istilah diantaranya :

1. Yang berupa perkataan (aqwal)
Pengertian hadist Nabi yang berbentuk qaulan (Perkataan ) adalah perkataan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum (syari’at),akhlaq, aqidah, pendidikan. sebagai contoh : Hadist tentang segala persoalan tergantung kepada niat. Hukum yang terkandung dalam sabda Nabi ialah kewajiban niat dalam segala amal perbuatan untuk mendapatkan pengakuan syah secara syara’[24].

Contoh sabda Nabi yang mengandung akhlaq, misalnya sabda Beliau :
“Perhatikan tiga hal : Barangsiapa yang sanggup menghimpunnya, niscaya akan mencakup iman yangsempurna.Yakni: (1) jujur terhadap diri sendiri,(2) mengucapkan salam perdamaian kepada seluruh dunia dan (3) mendermakan apa yang menjadi kebutuhan umum. (HR. Bukhari)
Hadits yang lainnya.”Dari Abu Hurirah ra.berkata: telah bersabda Nabi saw : Iman itu ada tujuh puluh cabang. Dan Malu itu satu cabang dari iman. (HR. Bukhari-Muslim)

Sabda Nabi ini menganjurkan seseorang berakhlaq luhur, berkesadaran tinggi, cinta perdamaian dan dermawan. [25]

Contoh sabda Nabi mengandung aqidah, misalnya sabda beliau :
“Dari Abdullah bin Umar r.a. dia berkata : Rasulullah saw bersabda : ” Islam ditegakkan di atas lima sendi : (1) Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan sesungguhnya bahwa Muhammad adalah utusan Allah. (2) Mendirikan shalat (3) Memberikan zakat(4) Menunaikan ibadah haji dan (5) Berpuasa di bulan Ramadhan ” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist Nabi di atas memberikan gambaran pokok-pokok Islam dengan fondasi bangunan rumah baik dari batunya, kayunya, tanahnya, pasir dan semennya serta besi dan lain-lainnya. Sebagaimana rumah mempunyai bahan dasar pertamanya, maka demikian pula Islam yang wujudnya keimanan, amal atau pelaksanaan, tunduk dan penyerahan, juga mempunyai dasar pokok dan sendi utama sebagaimana sebuah bangunan rumah yang telah diuraikan dalam hadist tersebut.[26]

Contoh sabda Nabi yang mengandung Pendidikan. Rasulullah saw bersabda:”Dari Ibn ‘Umar r.a berkata : Bersabda Rasulullah saw :
"Perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka setelah mencapai umur sepuluh tahun kalau masih belum juga melaksanakan shalat, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”(H.R. Turmudzi).
Hadist Nabi ini menunjukkan bahwa anak-anak sebelum sampai menjalankan kewajiban agama, terlebih dahulu harus dididik dan dibiasakan mengerjakannya, agar kewajiban- kewajiban tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya apabila telah tiba waktunya. Demikianlah perkataan Nabi tersebut di atas mengandung pendidikan yang sangat tinggi.[27]

2. Yang berupa perbuatan (af’al)
Maksud fi’lan ( perbuatan )Nabi merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’at yang belum jelas cara pelaksanaannya.Misalnya cara bersembahyang dengan menghadap kiblat ketika Nabi melaksanakan sembahyang sunat di atas kendaraan yang sedang berjalan; telah dipraktekkan oleh Nabi dengan perbuatan di hadapan parasahabat.atau ketika Nabi mendapatkan dispensasi oleh Allah swt, diperbolehkan mengawini wanita lebih dari 4 orang, dan mengawini tanpa memberikan maskawin. Sebagai dalil adanya dispensasi mengawini wanita tanpa maskawin. Firman Allah.[28]

يَاأَيُّهَاالنَّبِيُّإِنَّاأَحْلَلْنَالَكَأَزْوَاجَكَاللَّاتِيآَتَيْتَأُجُورَهُنَّوَمَامَلَكَتْيَمِينُكَمِمَّاأَفَاءَاللَّهُعَلَيْكَوَبَنَاتِعَمِّكَوَبَنَاتِعَمَّاتِكَوَبَنَاتِخَالِكَوَبَنَاتِخَالَاتِكَاللَّاتِيهَاجَرْنَمَعَكَوَامْرَأَةًمُؤْمِنَةًإِنْوَهَبَتْ
نَفْسَهَالِلنَّبِيِّإِنْأَرَادَالنَّبِيُّأَنْيَسْتَنْكِحَهَاخَالِصَةًلَكَمِنْدُونِالْمُؤْمِنِينَقَدْعَلِمْنَامَافَرَضْنَاعَلَيْهِمْفِيأَزْوَاجِهِمْوَمَامَلَكَتْأَيْمَانُهُمْلِكَيْلَايَكُونَعَلَيْكَحَرَجٌوَكَانَاللَّهُغَفُورًارَحِيمًا (50)


“saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“.
Menurut Abu Ishaq dan kebanyakan Muhadditsin setiap perbuatan Nabi saw Seperti makan, minum, berpakaian, dsb.Tetapi kalau perbuatan tersebut memberi suatu pertunjuk tentang tata cara makan, minum, berpakaian, maka menurut pendapat yang lebih baik hukumnya sunat[29]. Ada riwayat lain yang ditakhrij oleh Abu Daud dan an-Nasa’I dari Abu Sa’id al-khudry ra, bahwasannya ada dua orang yang keluar untuk bepergian tanpa memiliki persediaan air. Lalu tibalah waktu shalat. Kemudian keduanya bertayamum dengan debu yang baik, lalu melakukan shalat. Beberapa saat kemudian, keduanya mendapatkan air. Masih dalam waktu salat tersebut. Yang satu mengulang wudhu dan shalatnya, sedang yang lain tidak.Kemudian keduanya datang menghadap Nabi saw melaporkan perihal keduanya, lalu, kepada yang tidak mengulang, beliau bersabda :”Engkau telah mengerjakan sunnah (ku).”Dan kepada yang mengulang beliau bersabda :”Engkau mendapatkan pahala dua kali.[30]

Contoh lain yang kaitannya dengan Fi’lan (Perbuatan) yang berdasarkan kebijaksanaan yang menyangkut persoalan keduniawian seperti pertanian, taktik dan strategi perang.

Di bidang pertanian
Pada suatu hari Rasulullah kedatangan seorang Sahabat yang berhasil menyuburkan pohon korma. Dia minta penjelasan kepada Nabi, maka beliau menjawab : ”Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian" (HR. al-bukhari dan Muslim).[31]

Di bidang taktik dan strategi peperangan
Pada waktu perang Badar berkecamuk, Nabi menem-patkan suatu pasukan tentara di suatu tempat, kemudian ada seorang Sahabat yang menanyakan kepada beliau, apakah penempatan itu atas petunjuk dari Allah ? Ataukah hanya semata-mata pendapat dan siasat beliau ? Nabi menjawab, bahwa tindakan tersebut hanya semata-mata menurut pendapat dan siasat saya saja. Pada akhirnya atas usul Sahabat tersebut, pasukan tentara dipindahkan ke tempat lain yang dianggap lebih strategis.[32]

Berupa penetapan(taqrir)
Pengertian taqrir ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para shahabat di hadapan beliau.[33] Menurut Hasbi Ash-Shiddiqy taqrir ialah :

(a).Membenarkan (tidak mengingkari) sesuatu yang diperbuat oleh seseorang sahabat (orang yang mengikuti syara’) di hadapan Nabi, atau diberitakan kepada beliau, lalu beliau tifak menyanggah, atau tidak menyalahkan serta menunjukkan bahwa beliau meridhainya,

(b).Menerangkan kebagusan yang diperbuat oleh sahabat itu serta menguatkannya.[34]

Contoh taqrir Nabi Muhammad saw tentang perbuatan shahabat yang dilakukan di hadapannya, ialah tindakan salah seorang sahabat yang bernama Khalid bin Walid, dalam salah satu jamuan makan, menyajikan masakan daging biawak dan mempersilahkan kepada Nabi untuk menikmatinya bersama undangan.Tindakan Khalid dan para sahabat yang menikmati daging biawak tersebut, disaksikan oleh Nabi, dan beliau tidak menyanggahnya.[35]

Yang lainnya,ketika Nabi Muhammad saw tidak berbicara pada waktu para wanita pada keluar rumah, berjalan pergi ke mesjid dan mendengarkan ceramah-ceramah yang memang diundang untuk kepentingan suatu pertemuan.[36]

Contoh lainnya, Rifa’ah Rafi’ ia berkata : ketika ada seorang yang shalat dibelakang Rasulullah saw. Lalu saya bersin. Maka saya mengucapkan ‘Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi kama yuhibbu Rabbuna wa yardha’. Maka tatkala Rasulullah telah selesai shalat, beliau bertanya: Siapakah yang berbicara waktu shalat? Tak ada seorang pun yang menjawabnya.Kemudian beliau bertanya untuk kedua kalinya tetapi tak seorang pun yang menjawabnya. Kemudian Rasulullah saw bertanya untuk ketiga kalinya, maka barulah saya menjawab: Saya ya Rasul Allah.Maka beliau bersabda: Demi Tuhan yang diri Muhammad di tangan-Nya sungguh telah disambut ucapan itu boleh tiga puluh Malaikat masing-masing mereka ingin membawanya naik”. (HR. An-Nasa’I dan Turmudzi)[37]

Ketika shalat sunat Wudlu dan Tahiyyatul Masjid, dinamakan Shalat thuhur shalat yang dilakukan setelah wudhu. Dalam kitab-kitan fiqih di-Istilahkan dengan “shalat Thuhur”.

Tentang waktu mengerjakan “shalat thuhur” itu, dalam riwayat-riwayat disebut dengan bermacam-macam lafadz diantaranya :
a. Ada dengan sebutan “ba’dal wudhu” : sesudah wudhu ( dalam kitab Fathul Barri III :23). Kata- kata ba’ada tidak menunjukkan kepada “langsung” shalat tanpa perantaraan.

b. Ada dengan sebutan “inda-haa” di sisi-nya. Kata-kata “in-da” menunjukkan dekar sesudahwudhu, tetapi tidak menafikan (meniadakan) adanya “perantaraan”. Maka sebagai jawabannya dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Yang dikutip oleh Majalah Al-Muslimun ialah : “Artinya (Bilal berkata): Aku tidak mengamalkan satu amalan yang lebih diharapkan (manfaatnya) olehku (daripada) bahwa aku tidak bersuci sunggu-sungguh (Berwudhu) di waktu malam atau siang, melainkan aku mesti shalat dengan wudhu itu berapa raka’at yang ditakdirkan aku dapat shalat.[38] Perkataan bilal ini, adalah sebagai jawaban pertanyaan Nabi kepadanya. Nabi saw Taqrir kepada jawabannya. Dalam hadist tersebut ada ucapan: “(sesudah wudhu) aku mesti shalat dengan wudhu itu. Ibnu Tien berkata bahwa dalam ucapan itu tidak ada ketentuan “dipercepat (shalat itu), maksudnya tidak mesti langsung shalat sesudah wudhu.[39]

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-khudri bahwa suatu hari Rasulullah saw duduk di atas mimbar.Dan kami duduk di sekitar beliau,kemudian Rasulullah saw bersabda,” Sesungguhnya di antara yang aku takutkan terjadi pada kalian setelah ku adalah dibukakannya nagi kalian kenikmatan dunia dan perhiasaanya. Seseorang bertanya,” Wahai Rasulullah saw, apakah kebaikan datang bersama keburukan ? Rasulullah saw terdiam. Seseorang berkata kepada penanya tadi, “Ada apa denganmu ? Kamu berbicara kepada Rasulullah, tapi beliau tidak menjawab ? kami berkesimpulan bahwa Rasulullah saw sedang menerima wahyu, Abu Sa’id al-Khudri berkata, ” Kemudian Rasulullah saw mengusap keringatnya, seraya bersabda,” Mana si penanya tadi ?“.
Terlihat beliau memujinya, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kebaikan tidak datang bersama keburukan, sesungguhnya di antara tumbuhan yang tumbuh di musim semi ada tumbuhan yang membunuh atau hampir membunuh. Yang memakannya tidak ada melainkan hewan pemakan tanaman hijau, hingga bila kedua sisi perutnya menggelembung disesaki oleh tanaman itu, hewan itu menjemur diri, membuang kotoran kencing, dan tertidur. Sesungguhnya harta benda itu menghijaukan mata dan terasa manis, dan sebaik-baiknya pemilik harta benda itu adalah seorang muslim yang memberikan sebagian darinya kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim, dan musafir." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Sabda Rasulullah saw untuk Sa’ad bin Abi Waqash ra ”Sesungguhnya bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaannya menjadi beban orang lain, dan meminta-minta kepada orang lain" (HR. al-Bukhari).[40]

3. Yang berupa sifat (keadaan)
Pengertian Sifat-sifat atau hal ihwal Nabi terbagi pada tiga bagian:
  • Sifat-sifat beliau dilukiskan oleh para sahabat dan ahli tarikh, seperti sifat-sifat dan bentuk jasmani.
  • Silsilah-silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran. Contoh tahun kelahiran.
  • Himmah(hasrat) beliau yang belum sempat direalisir Misalnya hasrat beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 “Asyura, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a katanya :”Dikala Rasulullah saw berpuasa Asyura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata :”Ya Rasulullah, bahwa hari ini adlah yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”.Jawab Rasulullah :”Tahun yang akan datang .Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan ( Riwayat Muslim dan Abu Daud).[41] Tetapi Rasulullah saw tidak menjalankan puasa ditahun depan disebabkan beliau telah wafat.
Dari Al Barra bin Al-Azib berkata : Adalah Rasulullah saw itu sebaik-baik manusia mengenai parasnya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukanlah orang yang jangkung dan bukan pula orang yang pendek ( HR. Bukhari dan Muslim ).

“Dari Anas bin Malik ra, berkata: Rambut Rasulullah saw, tidaklah terlalu keriting dan tidaklah terlalu lurus.Panjangnya antara kedua telinga dan bahu beliau (HR. Bukhari dan Muslim).[42]


[1].DR. Mahmud Thahan, Musthalah al-Hadits. Darl Fikr .hal. 14. Lihat Ahmad Husnan.Gerakan Inkar as-Sunnah. Medua Dakawah.Jakarta 1981. hlm. 51, Lihat Drs munzir Suparta MA. Ilmu Hadits, Penerbit RajaGrafindo Jakarta. Hlm. 1
[2].Syekh Alawy Abbas al-Maliki.Ibanatul Ahkam. Syarah Bulugul Maram. Juz 1.Lihat Drs. Cecep sumarna.M.Ag. Pengantar Ilmu Hadits. Pustaka Bani Quraisy. 2004. hlm.1
[3].Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al Hadits Ulumuhu wa Mushtholahuhu, Bairut; Libanon. 1992. hal. 26
[4].Abu al Faid Muhammad bin Muhammad Ali al Farisi, Jawahir al Usul al Hadits fi IlmiHadits al Rosul Bairut; Libanon. 1992. hal. 24
[5].Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,1999. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Hal 1
[6].Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu,….….hal. 27
[7].Ibid.
[8].Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar,…….hal. 4.
[9].Drs. Farhur Rahman, Ikhtisar Musthalahul hadits. Pt Ma’arif. Bandung 1987. hlm.6. Lihat Muhammad thalib : sekitar Kritik terhadap Hadist dan Sunnah sebagai dasar hukum Islam.Pt.Bina ilmu.Yogyakarta. 1977.hlm. 4. Lihat Suparta. Loc.cit
[10].Thalib. Ibid
[11].Thahan. Loc. Cit hlm. 14. Lihat Bukunya Ahmad Azhar Basir. Ihktisar Ilmu Musthalah al-hadits.Penerbit siti samsiah. Solo. 1968 hlm. 5. Lihat Abbas Al-Maliki. Ibanatul Ahkam Juz 1 dia menambahkan sifat-sifat nabi itu dari peribadi-Nya dan Akhlak kesehariannaya.
[12].Suparta.op.Cit. hal. 2
[13].Ibid
[14].As-Shiddiqy.Loc.Cit
[15].Sodikin. Loc.cit hlm.69
[16].Sumarna.op.cit. hal.2
[17].Ibid
[18].Suparta.op.cit hal. 2
[19].Sumarna.Op.Cit. hal. 2
[20].Syuhudi. Op.cit. hlm.2
[21].Ibid
[22].Op.cit.hlm. 3
[23].Prof. Dr. H.M. Noor Sulaiman PL. Antologi Ilmu Hadist. Gp Press. 2008. hlm. 3
[24].Rahman.Loc.cit hlm.7 Lihat.Ismail.Op.cit. hlm. 4
[25].Rahman.Op.cit.hlm. 7
[26].Muhammad Abdul ‘Aziz Al Khully, Al-Adabun Nabawi. Diterjemahkan KH Abdullah Sonhaji. Wickasana.1989. hlm. 23
[27].Sulaiman.Op.cit. hlm. 5
[28].QS. Al-Ahzab[ ] : 50
[29].Ibid.Lihat Kh. Munawar khalil. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw Jilid 8 Bulan bintang. Jakarta 1994. hlm.5-6
[30].Ajaj Al-Khatib.Op.cit. hlm. 4
[31].Ibid
[32].Ibid hlm. 7
[33].Op.Cit. hal.9
[34].Ash-Shiddeqy.Op. cit. hlm.27. Lihat Ajaj al-Khatib.Op.cit. hlm. 4
[35].Rahman.Op.cit. hlm. 10
[36].Ibid. Lihat As-Shiddieqy. Ibid
[37].Al-Khatib.Op.cit. hlm. 6
[38].Matan hadist ini dalam kitab Fathul Barri Juz III :23 Bab Tahajud. Dikutip oleh Majalah Al-Muslimun edisi 171. th. 1993. oleh .A. Qadir Hasan. Hlm. 17
[39].Ibid.
[40].Aagym, Saya tidak ingin Kaya tapi Saya harus Kaya. 2006. hlm. 20.
[41].Ash-Shiddieqy. Op.cit. hlm.27
[42].Ibid

No comments:

Powered by Blogger.