Biografi Ibnu Al-Muqaffa (Sastrawan & Penulis Arab)
Ibn al-Muqaffa (720-756) nama lengkapnya adalah Abū Muhammad ʿAbd Allāh Rūzbih ibn Dādūya (Persian: ابو محمد عبدالله روزبه ابن دادویه) adalah penulis Arab yang berasal dari Persia. Dialah yang pertama kali melakukan penerjemahan dalam sejarah dan sastra Arab, baik dari segi isi maupun dari gaya ungkapnya. Penerjemahan itu mengakibatkan dua hal yang sangat penting : yaitu pindahnya bangsa Arab dari kehidupan bergaya Badui kepada kehidupan Modern dan keterlibatan orang bukan Arab dalam bidang penulisan sastra Arab.
Sebelum memeluk agama Islam, ia bergelar Abu Amr. Ia orang pertama yang menerjemahkan karya-karya sastra tentang kebudayaan India dan Persia ke dalam bahasa Arab dan merupakan orang pertama yang melahirkan karya prosa berbahasa Arab. Ayahnya, al-Mubarak, mendapat kepercayaan dari penguasa, al-Hajjaj bin Yusuf, untuk memungut pajak di wilayah Irak dan Iran. Karena ia melakukan tindakan penyalahguanaan hasil pajak tersebut, maka ia dihukum potong tangan. Sejak itulah nama belakangnya mendapat tambahan al-muqaffa yang berarti orang yang terpotong tangannya. Gelar inilah yang kemudian menjadi nama anaknya, Abu Muhammad ibnu al-Muqaffa.
Para pengikut nasionalisme yang menganggap bangsa bukan Arab lebih unggul dari bangsa Arab, telah gagal memberikan kesan bahwa kedudukan bahasa Arab sangat rendah. Mereka juga mengakui bahwa bahasa Al-quran milik orang muslim (apapun bahasa asli mereka) dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakikat Islam. Akan tetapi, mereka menolak bahwa kaidah-kaidah bahasa Arab didasarkan atas apa yang dipakai oleh orang Arab badui. Karena tidak ada sama sekali bukti yang memperkuatnya, misalnya seorang penyair yang bersal dari mereka. Jeleknya, orang badui malah dijadikan penghujat bagi masalah yang muncul dalam bahasa. Bukti yang paling nyata, menurut mereka, adalah adanya penulis atau pelajar yang mengatakan bahwa dirinya telah berbicara seperti halnya orang badui. Meskipun demikian, kehidupan umat-khususnya sejak awal kekhalifahan Abbasiyah telah jauh dari kehidupan badui.
Orang-orang yang berpengaruh dalam daulah itu, sebagian besar berasal dari Persia, tidak merasakan adanya hubungan emosional dengan kehidupan Arab, bahkan watak, nilai-nilai etika dan estetika pun berbeda. Orang-orang dinasti Abbasiyah, berkat kemampuan mereka sendiri, mampu berbicara seperti halnya orang badui. Akan tetapi, mereka tidak pernah mengisi pikiran mereka yang modern dan kaya itu dengan gaya ungkap bahasa lama. Oleh sebab itu meski diadakan perubahan yang sangat mendasar bagi model ungkapan bahasa Arab. Bahasa Arab harus dikembangkan sesuai perubahan yang terjadi dkehidupan umat. Itulah salah satu perubahan yang mungkin saja menyangkut pemikiran dan makna yang belum pernah terbertik dalam pikiran bangsa Arab terdahulu.
Ibn Al-Muqaffa adalah pakar dalam bidang yang satu ini. Dia menyisihkan bahasa Arab kuno, dan membangun gaya ungkap bahasa arab yang benar, mudah dan sederhana yang dapat mengungkapkan makna dan muatan katanya. Dia mengadakan revolusi besar besaran dalam bahasa Badui kuno, berikut kosakata yang sesuai dengan dunia modern. Dia melakukan penyederhanaan ( langsung kepada maksud ), penyusunan gramatikal yang jelas, selain menghindari pemakaian kata yang mengandung banyak arti, mengatur struktur pembicaraan, menghilangkan bentuk ungkapan takjub dan permintaan tolong serta memilih kata yang mudah dipahami dan menghindari setiap musykil yang terdapat dalam bahasa orang badui.
Ibn Al-Muqaffa berpendapat bahwa peniruan terhadap orang-orang terdahulu menjadi batu penghalang yang besar dalam perkembangan pemakaian ungkap baru. Karena itu dia memilih gaya ungkap yang bagus dan menarik, jelas, mudah dipahami dan gampang disampaikan. Dia menghindarkan diri dari tabiat kasar dan rumit orang-orang arab kuno, kemudian menggantinya dengan bahasa-bahasa yang mudah, teratur dan jelas. Gaya bahasanya biasa, tetapi mudah dipahami. Dengan cepat, gaya bahasa Ibn Al-Muqaffa diikuti oleh banyak orang dan dipakai dalam dunia sastra oleh para sarjana, penulis di dunia Islam.
Kerena pendidikan Ibn Al-Muqaffa banyak diperoleh dari Persia, dia sendiri sangat condong kepada Persia dan ingin menghidupkan umatnya dengan menyebarkan sastra, politik dan sejarah mereka, maka tidak aneh bila buku-buku Ibn Al-Muqaffa adalah buku yang mula-mula dipengaruhi oleh sastra asing, dengan memperluas makna dan konsepnya.
Dia banyak menerjemahkan buku dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dialah yang pertama kali menyerukan penyatuan pemikiran yang tumbuh dari kerja sama, tanggung jawab, dan saling pengertian antar generasi, lintas waktu, diantara umat timur yang bermacam – macam. Hal yang sama kemudian direalisasikan oleh peradaban Islam dengan sangat baik setelah dia tiada yaitu, ketika peradaban Islam mulai hidup, kuat, dan sangat berpengaruh dalam kehidupan berbagai umat dan bangsa.
Keelokan hasil terjemahannya dapat dikatakan belum pernah ada pada jaman sebelum ataupun sesudahnya yang mampu menerjemahkan karya sastra kedalam bahasa Arab, yang tidak sama sekali bahwa karya sastra itu berasal dari bahasa Asing. Karya terjemahannya pertanda bahwa kedalaman bahasa Arab mudah dicerna dan enak dibaca.
Buku penting yng dia terjemahkan ialah Kalilah dan Daminah yang mampu memasuki ruang kesadaran bangsa Arab dan mampu mempengaruhi pikiran mereka, sebuah kemampuan yang tidak dimiliki oleh buku-buku lainnya, selain Al-Quran dan buku Alf Laylah wa laylah. Buku itu di cetak berkali kali di dunia Arab sejak cetakan pertama hingga jaman kita sekarang ini. Di beberapa Negara, buku ini dijadikan sebagai buku wajib di sekolah, sehingga tidak ada satupun cendikiawan atau pelajar yang belum pernah menelaah atau membaca buku itu, sebagian atau keseluruhannya.
Buku kalilah dan daminah telah diterjemahkan kedalam lebih dari dua puluh bahasa. Semuanya kebanyakan diterjemahkan dari terjemahan dari bahasa Arab yang dilakukan oleh Ibn Al-Muqaffa. Banyak penulis yang sangat terpengaruh oleh gaya sastra arab karena mengikuti Ibn Al-Muqaffa, baik dari segi gaya ungkap maupun cara mengkritik kondisi politik dan ketimpangan sosial pada masa itu, saat kebebasan mengungkapkan pendapat sudah tidak ada tempatnya.
Nilai etika yang tertuang dalam Kalilah wa Dimnah karya Ibnu Al-Muqaffa’ sebagaimana penulis buku ini sampaikan adalah sangat penting untuk dikemukakan, karena adanya kesenjangan pengetahuan etika Islam antara periode klasik dengan era modem. Hal itu menjadi satu perhatian yang serius karena masalah etika di zaman kontemporer khususnya perilaku pragmatis diliputi nilai-niIai materialistis yang kering akan maknawiyah hidup sesungguhnya. Bagaimana rumusan nilai-nilai etika dari fabel Kalilahwa Dimnah, adalah salah satu upaya yang signifikan dalam rangka menemukan jawaban terhadap masalah-masalah etis yang kongkret, terutama dalam persoalan hubungan antara etika, sosial-politik, dan agama pada masanya oleh Ibnu Al-Muqaffa’ dan relevansi hubungan antara etika, sosial-politik, dan agama pada masa kontemporer oleh para mujtahid.
Dalam pembahasan ini, penulis menggunakan metode kualitatif model studi Islam multidisipliner dengan pendekatan filsafat yang menggunakan perpaduan pendekatan temarik, strukturalistik-semiotik, resepsi,dan hipogram, dari disiplin ilmu sastra dan studi Islam.
Dalam ranah studi etika, kajian buku ini memberikan kontribusi keilmuan dalam dua hal: interkoneksitas keilmuan dan dua model etika sekaligus, yakni etika dltinjau dari sudut substansi fabel dan etika ditinjau dari sudut formal fabel. Dari substansinya adalah Etika Humanisme Klasik Moderat dan Etika Politik Posmodernisme-Klasik, sedang dari sudut formalnya adalah Etika Komunikasi Publik.
Buku ini diharapkan dapat dibaea oleh masyarakat luas, terutama para politisi, birokrat, para akademisi, mahasiswa, dan khususnya pemuka agama sehingga wawasan etika lebih baik khususnya ketika pada praktik moralnya dalam segala hal.
Ibn Al-Muqaffa menginginkan agar dirinya memiliki kesempatan untuk mengungkapkan kondisi social politik yang bobrok pada masa pemerintahan Abbasiyah dengan cara membandingkannya dengan tatanan politik yang sangat bagus di Persia. Pemikirannya yang asli ini banyak membawa hasil yang baik. Dialah orang yang pertama kali menjelaskan bahwa kemuliaan Akhlak kadang kala datang dari pemikiran dan filsapat, selain datang dari agama. Menurut pendapatnya, orang-orang yang berakhlak, tingkah lakunya pasti sesuai dengan agama dan filsapat dia sangat bangga bahwa dia berakhlak karena berfilsafat ansich. Jika seseorang mau melakukan perbuatan yang mulia, pasti dirinya akan mencapai derajat yang tinggi dan terhormat. Kalaulah perbuatan mulia itu tidak dianjurkan oleh agama, manusia tetap harus melakukan perbuatan yang mulia.
Ibn Al-Muqaffa adalah cendikiawan yang beradab, bukan seorang ahli agama atau ulama. Jikapun tulisannya menyinggung persoalan berbicara tentang akhlak, dia memberi penjelasan dan uraian secara rasional saja. Hamper tidak pernah mempertahankan pendapatnya dengan memakai dalil dari ayat al-Quran ataupun hadist.
Dalam sejarah kariernya, Ibnu al-Muqaffa menjabat sebagai sekeraris gubernur Bani Abbas di Kirman, dimana ia mendapat banyak kesempatan dan keberuntungan. Ketika Khalifah Abu Ja’far al-Mansur menyuruhnya membuat konsep surat perjanjian antara dia dan saudaranya, Abdullah bin Ali, yang melakukan pemberontakan, ia membuat beberapa pernyataan yang tidak menyenangkan bagi khalifah. Tindakan Ibnu al-Muqaffa ini, sudah barang tentu, mengundang kecurigaan dan kemarahan Khalifah al-Mansur. Khalifah al-Mansur memerintahkan Sufyan bin Mu’awiyah al-Muhallabi, gubernur Basra, agar melenyapkan sekretaris yang dinilai angkuh ini. Tepat di penghujung tahun 138 H/756 M Ibnu al-Muqaffa deksekusi secara tragis. Sebagian orang memendang bahwa eksekusi atas diri Ibnu al-Muqaffa tersebut terjadi karena ia dipandang sebagai kaum *zindik. Akan tetapi, bagaimanapun juga, peristiwa tragis itu lebih dilatarbelakangi oleh faktor politis dan sentimen pribadi ketimbang faktor agama.
Meskipun masa hidupnya relatif singkat, yaitu 30 tahun, Ibnu al-Muqaffa telah meninggalkan hasil terjemahan dan karya orisinil yang tidak sedikit jumlahnya. Namun hanya sebagian kecil dari karyanya tersebut yang masih ada hingga sekarang. Itupun masih diragukan keaslian dan kebenarannya. Di antara kitab tersebut adalah kitab Kalilah wa Dimnah atau Kalilah dan Dimnah (Yang Tumpul dan Keras) yang diterjemhkan oleh Ibnu al-Muqaffa dari bahasa Pahlavi ke dalam bahasa Arab. Kitab ini merupakan kumpulan dongeng-dongeng India yang berasal dari Pancatantra dan Tantrayana yang diterjemahkan ke dalam bahasa Pahlevi pada zaman Anusyirwan. Ia juga menerjemahkan kitab Khudainama dari bahasa Pahlevi, yang dalam bahasa Arabnya diberi judul Siyar Muluk al-‘Ajam (Kehidupan Raja-Raja Non-Arab). Di samping karya terjemahan, Ibnu al-Muqaffa juga mempunyai karya-karya orisinil sebagai ide dalam pemikirannya sendiri. Diantara karya orisinil tersebut adalah kitab ad-Durrah al-Yatimah fi Ta’ah al-Muluk (Mutiara Terbaik Dalam Mematuhi Raja), al-Adab as-Sagir (Sastra Kecil), al-Adab al-Kabir (Sastra Besar), dan beberapa risalah kecil lainnya.
Sebelum memeluk agama Islam, ia bergelar Abu Amr. Ia orang pertama yang menerjemahkan karya-karya sastra tentang kebudayaan India dan Persia ke dalam bahasa Arab dan merupakan orang pertama yang melahirkan karya prosa berbahasa Arab. Ayahnya, al-Mubarak, mendapat kepercayaan dari penguasa, al-Hajjaj bin Yusuf, untuk memungut pajak di wilayah Irak dan Iran. Karena ia melakukan tindakan penyalahguanaan hasil pajak tersebut, maka ia dihukum potong tangan. Sejak itulah nama belakangnya mendapat tambahan al-muqaffa yang berarti orang yang terpotong tangannya. Gelar inilah yang kemudian menjadi nama anaknya, Abu Muhammad ibnu al-Muqaffa.
Para pengikut nasionalisme yang menganggap bangsa bukan Arab lebih unggul dari bangsa Arab, telah gagal memberikan kesan bahwa kedudukan bahasa Arab sangat rendah. Mereka juga mengakui bahwa bahasa Al-quran milik orang muslim (apapun bahasa asli mereka) dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakikat Islam. Akan tetapi, mereka menolak bahwa kaidah-kaidah bahasa Arab didasarkan atas apa yang dipakai oleh orang Arab badui. Karena tidak ada sama sekali bukti yang memperkuatnya, misalnya seorang penyair yang bersal dari mereka. Jeleknya, orang badui malah dijadikan penghujat bagi masalah yang muncul dalam bahasa. Bukti yang paling nyata, menurut mereka, adalah adanya penulis atau pelajar yang mengatakan bahwa dirinya telah berbicara seperti halnya orang badui. Meskipun demikian, kehidupan umat-khususnya sejak awal kekhalifahan Abbasiyah telah jauh dari kehidupan badui.
Orang-orang yang berpengaruh dalam daulah itu, sebagian besar berasal dari Persia, tidak merasakan adanya hubungan emosional dengan kehidupan Arab, bahkan watak, nilai-nilai etika dan estetika pun berbeda. Orang-orang dinasti Abbasiyah, berkat kemampuan mereka sendiri, mampu berbicara seperti halnya orang badui. Akan tetapi, mereka tidak pernah mengisi pikiran mereka yang modern dan kaya itu dengan gaya ungkap bahasa lama. Oleh sebab itu meski diadakan perubahan yang sangat mendasar bagi model ungkapan bahasa Arab. Bahasa Arab harus dikembangkan sesuai perubahan yang terjadi dkehidupan umat. Itulah salah satu perubahan yang mungkin saja menyangkut pemikiran dan makna yang belum pernah terbertik dalam pikiran bangsa Arab terdahulu.
Ibn Al-Muqaffa adalah pakar dalam bidang yang satu ini. Dia menyisihkan bahasa Arab kuno, dan membangun gaya ungkap bahasa arab yang benar, mudah dan sederhana yang dapat mengungkapkan makna dan muatan katanya. Dia mengadakan revolusi besar besaran dalam bahasa Badui kuno, berikut kosakata yang sesuai dengan dunia modern. Dia melakukan penyederhanaan ( langsung kepada maksud ), penyusunan gramatikal yang jelas, selain menghindari pemakaian kata yang mengandung banyak arti, mengatur struktur pembicaraan, menghilangkan bentuk ungkapan takjub dan permintaan tolong serta memilih kata yang mudah dipahami dan menghindari setiap musykil yang terdapat dalam bahasa orang badui.
Ibn Al-Muqaffa berpendapat bahwa peniruan terhadap orang-orang terdahulu menjadi batu penghalang yang besar dalam perkembangan pemakaian ungkap baru. Karena itu dia memilih gaya ungkap yang bagus dan menarik, jelas, mudah dipahami dan gampang disampaikan. Dia menghindarkan diri dari tabiat kasar dan rumit orang-orang arab kuno, kemudian menggantinya dengan bahasa-bahasa yang mudah, teratur dan jelas. Gaya bahasanya biasa, tetapi mudah dipahami. Dengan cepat, gaya bahasa Ibn Al-Muqaffa diikuti oleh banyak orang dan dipakai dalam dunia sastra oleh para sarjana, penulis di dunia Islam.
Kerena pendidikan Ibn Al-Muqaffa banyak diperoleh dari Persia, dia sendiri sangat condong kepada Persia dan ingin menghidupkan umatnya dengan menyebarkan sastra, politik dan sejarah mereka, maka tidak aneh bila buku-buku Ibn Al-Muqaffa adalah buku yang mula-mula dipengaruhi oleh sastra asing, dengan memperluas makna dan konsepnya.
Dia banyak menerjemahkan buku dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dialah yang pertama kali menyerukan penyatuan pemikiran yang tumbuh dari kerja sama, tanggung jawab, dan saling pengertian antar generasi, lintas waktu, diantara umat timur yang bermacam – macam. Hal yang sama kemudian direalisasikan oleh peradaban Islam dengan sangat baik setelah dia tiada yaitu, ketika peradaban Islam mulai hidup, kuat, dan sangat berpengaruh dalam kehidupan berbagai umat dan bangsa.
Keelokan hasil terjemahannya dapat dikatakan belum pernah ada pada jaman sebelum ataupun sesudahnya yang mampu menerjemahkan karya sastra kedalam bahasa Arab, yang tidak sama sekali bahwa karya sastra itu berasal dari bahasa Asing. Karya terjemahannya pertanda bahwa kedalaman bahasa Arab mudah dicerna dan enak dibaca.
Buku penting yng dia terjemahkan ialah Kalilah dan Daminah yang mampu memasuki ruang kesadaran bangsa Arab dan mampu mempengaruhi pikiran mereka, sebuah kemampuan yang tidak dimiliki oleh buku-buku lainnya, selain Al-Quran dan buku Alf Laylah wa laylah. Buku itu di cetak berkali kali di dunia Arab sejak cetakan pertama hingga jaman kita sekarang ini. Di beberapa Negara, buku ini dijadikan sebagai buku wajib di sekolah, sehingga tidak ada satupun cendikiawan atau pelajar yang belum pernah menelaah atau membaca buku itu, sebagian atau keseluruhannya.
Buku kalilah dan daminah telah diterjemahkan kedalam lebih dari dua puluh bahasa. Semuanya kebanyakan diterjemahkan dari terjemahan dari bahasa Arab yang dilakukan oleh Ibn Al-Muqaffa. Banyak penulis yang sangat terpengaruh oleh gaya sastra arab karena mengikuti Ibn Al-Muqaffa, baik dari segi gaya ungkap maupun cara mengkritik kondisi politik dan ketimpangan sosial pada masa itu, saat kebebasan mengungkapkan pendapat sudah tidak ada tempatnya.
Nilai etika yang tertuang dalam Kalilah wa Dimnah karya Ibnu Al-Muqaffa’ sebagaimana penulis buku ini sampaikan adalah sangat penting untuk dikemukakan, karena adanya kesenjangan pengetahuan etika Islam antara periode klasik dengan era modem. Hal itu menjadi satu perhatian yang serius karena masalah etika di zaman kontemporer khususnya perilaku pragmatis diliputi nilai-niIai materialistis yang kering akan maknawiyah hidup sesungguhnya. Bagaimana rumusan nilai-nilai etika dari fabel Kalilahwa Dimnah, adalah salah satu upaya yang signifikan dalam rangka menemukan jawaban terhadap masalah-masalah etis yang kongkret, terutama dalam persoalan hubungan antara etika, sosial-politik, dan agama pada masanya oleh Ibnu Al-Muqaffa’ dan relevansi hubungan antara etika, sosial-politik, dan agama pada masa kontemporer oleh para mujtahid.
Dalam pembahasan ini, penulis menggunakan metode kualitatif model studi Islam multidisipliner dengan pendekatan filsafat yang menggunakan perpaduan pendekatan temarik, strukturalistik-semiotik, resepsi,dan hipogram, dari disiplin ilmu sastra dan studi Islam.
Dalam ranah studi etika, kajian buku ini memberikan kontribusi keilmuan dalam dua hal: interkoneksitas keilmuan dan dua model etika sekaligus, yakni etika dltinjau dari sudut substansi fabel dan etika ditinjau dari sudut formal fabel. Dari substansinya adalah Etika Humanisme Klasik Moderat dan Etika Politik Posmodernisme-Klasik, sedang dari sudut formalnya adalah Etika Komunikasi Publik.
Buku ini diharapkan dapat dibaea oleh masyarakat luas, terutama para politisi, birokrat, para akademisi, mahasiswa, dan khususnya pemuka agama sehingga wawasan etika lebih baik khususnya ketika pada praktik moralnya dalam segala hal.
Ibn Al-Muqaffa menginginkan agar dirinya memiliki kesempatan untuk mengungkapkan kondisi social politik yang bobrok pada masa pemerintahan Abbasiyah dengan cara membandingkannya dengan tatanan politik yang sangat bagus di Persia. Pemikirannya yang asli ini banyak membawa hasil yang baik. Dialah orang yang pertama kali menjelaskan bahwa kemuliaan Akhlak kadang kala datang dari pemikiran dan filsapat, selain datang dari agama. Menurut pendapatnya, orang-orang yang berakhlak, tingkah lakunya pasti sesuai dengan agama dan filsapat dia sangat bangga bahwa dia berakhlak karena berfilsafat ansich. Jika seseorang mau melakukan perbuatan yang mulia, pasti dirinya akan mencapai derajat yang tinggi dan terhormat. Kalaulah perbuatan mulia itu tidak dianjurkan oleh agama, manusia tetap harus melakukan perbuatan yang mulia.
Ibn Al-Muqaffa adalah cendikiawan yang beradab, bukan seorang ahli agama atau ulama. Jikapun tulisannya menyinggung persoalan berbicara tentang akhlak, dia memberi penjelasan dan uraian secara rasional saja. Hamper tidak pernah mempertahankan pendapatnya dengan memakai dalil dari ayat al-Quran ataupun hadist.
Dalam sejarah kariernya, Ibnu al-Muqaffa menjabat sebagai sekeraris gubernur Bani Abbas di Kirman, dimana ia mendapat banyak kesempatan dan keberuntungan. Ketika Khalifah Abu Ja’far al-Mansur menyuruhnya membuat konsep surat perjanjian antara dia dan saudaranya, Abdullah bin Ali, yang melakukan pemberontakan, ia membuat beberapa pernyataan yang tidak menyenangkan bagi khalifah. Tindakan Ibnu al-Muqaffa ini, sudah barang tentu, mengundang kecurigaan dan kemarahan Khalifah al-Mansur. Khalifah al-Mansur memerintahkan Sufyan bin Mu’awiyah al-Muhallabi, gubernur Basra, agar melenyapkan sekretaris yang dinilai angkuh ini. Tepat di penghujung tahun 138 H/756 M Ibnu al-Muqaffa deksekusi secara tragis. Sebagian orang memendang bahwa eksekusi atas diri Ibnu al-Muqaffa tersebut terjadi karena ia dipandang sebagai kaum *zindik. Akan tetapi, bagaimanapun juga, peristiwa tragis itu lebih dilatarbelakangi oleh faktor politis dan sentimen pribadi ketimbang faktor agama.
Meskipun masa hidupnya relatif singkat, yaitu 30 tahun, Ibnu al-Muqaffa telah meninggalkan hasil terjemahan dan karya orisinil yang tidak sedikit jumlahnya. Namun hanya sebagian kecil dari karyanya tersebut yang masih ada hingga sekarang. Itupun masih diragukan keaslian dan kebenarannya. Di antara kitab tersebut adalah kitab Kalilah wa Dimnah atau Kalilah dan Dimnah (Yang Tumpul dan Keras) yang diterjemhkan oleh Ibnu al-Muqaffa dari bahasa Pahlavi ke dalam bahasa Arab. Kitab ini merupakan kumpulan dongeng-dongeng India yang berasal dari Pancatantra dan Tantrayana yang diterjemahkan ke dalam bahasa Pahlevi pada zaman Anusyirwan. Ia juga menerjemahkan kitab Khudainama dari bahasa Pahlevi, yang dalam bahasa Arabnya diberi judul Siyar Muluk al-‘Ajam (Kehidupan Raja-Raja Non-Arab). Di samping karya terjemahan, Ibnu al-Muqaffa juga mempunyai karya-karya orisinil sebagai ide dalam pemikirannya sendiri. Diantara karya orisinil tersebut adalah kitab ad-Durrah al-Yatimah fi Ta’ah al-Muluk (Mutiara Terbaik Dalam Mematuhi Raja), al-Adab as-Sagir (Sastra Kecil), al-Adab al-Kabir (Sastra Besar), dan beberapa risalah kecil lainnya.
No comments: