Daftar Artikel Ilmu Tafsir

Friday, October 04, 2013
Ilmu tafsir adalah ilmu yang sangat agung kedudukannya. Karena ilmu tafsir ialam ilmu membahas kalamullah yaitu perkataan Allah. Daripadanya juga kita dapat memahami keindahan bahasa surga firman ilahi. Berbeda dengan ilmu lain. Jika ilmu hadits membahas tentang apa yang datang dari rasul dan ilmu fiqh tentang apa yang diberlakukan pada aturan agama. Maka ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas ucapan ilahi. Dan ucapan/firman ilahi adalah objek yang sangat mulia untuk dipelajari.
Apakah mereka tak merenungkan secara mendalam mengenai Quran itu; seandainya ia berasal dari selain Tuhan, maka sudah pasti mereka akan menjumpai banyak pertentangan di dalamnya. (4:82)
Berikut artikel seputar Ilmu Tauhid yang mungkin bisa antum gunakan untuk keperluan antum seperti makalah dan media belajar. Semoga bermanfaat...


Faedah mempelajari Al-Quran


عَنْ عُثْمَانَ بنِ عَفَّان رَضِيَ اللَّهُ تعالى عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Dari Utsman bin 'Affan Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari AlQur’an dan mengajarkannya”. (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari Rahimahullahu Ta’ala).

Faidah-faidah yang bisa diambil dari hadits di atas adalah:
1. Beragamnya keutamaan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.

2. Bahwasanya ilmu yang paling utama adalah mempelajari AlQur’an dan mempelajari makna-makna yang terkandung di dalam AlQur’an, serta mengamalkan ilmu tersebut, bukan hanya hafalan yang kosong dari pemahaman maknanya.

Berkata Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala:
“Wajib untuk diketahui bahwasanya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan kepada para shahabatnya Radhiyallahu Ta’ala ‘anhum, makna-makna AlQur’an sebagaimana beliau menjelaskan lafadz-lafadznya kepada mereka. Maka firman Allah Ta’ala: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menjelaskan pada umat manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka” (QS An-Nahl:44), mencakup penjelasan secara lafadz dan makna.
Sungguh telah berkata Abu ‘Abdurrahman As-Sulamy:
“telah mengabarkan kepada kami orang-orang yang dahulu membacakan kami AlQur’an dari kalangan shahabat seperti Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin Mas’ud dan selain mereka berdua, bahwasanya dulu ketika belajar dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam 10 ayat AlQur’an, mereka tidak akan melanjutkannya sampai mereka mendalami benar apa-apa yang ada di dalamnya, baik berupa ilmu maupun amalannya. Mereka Radhiyallahu Ta’ala ‘anhum berkata: “Maka kami belajar ilmu-ilmu AlQur’an serta mengamalkan seluruhnya.”.
3. Bahwasanya kebaikan-kebaikan bagi pengajar Al-Qur’an dan yang mempelajarinya tidaklah terbatas pada satu keadaan tertentu atau satu zaman tertentu, akan tetapi kebaikan itu senantiasa ada pada setiap tempat, setiap waktu dan setiap keadaan. Maka kebaikan-kebaikan itu akan didapatkan di dunia, di alam barzakh dan di akhirat.

Yang menguatkan dan membenarkan kebaikan yang akan didapatkan di dunia adalah perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Yang akan mengimami suatu kaum adalah yang paling bisa membaca (bagus bacaan, hafalan dan pemahamannya) kitabullah diantara kamu.” (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Ahlus Sunnan). Posisi sebagai imam adalah posisi yang dimuliakan dan diagungkan dalam syari’at, dan manusia yang paling awwal dan paling berhak di antara mereka akan posisi imam tersebut adalah para Ashhabul Qur’an (yakni manusia yang memiliki bacaan, hafalan dan pemahaman bagus terhadap AlQur’an). Maka bukanlah yang didahulukan menjadi imam itu orang-orang berharta yang dikarenakan harta mereka juga bukan orang-orang yang berketurunan yang dikarenakan banyak dan bagusnya keturunan mereka, akan tetapi yang didahulukan adalah para Ashhabul Qur’an dikarenakan mulianya ilmu mereka dan tingginya derajat mereka.

Adapun kebaikan di alam barzakh, dikuatkan dengan apa-apa yang terjadi di perang uhud, di mana banyak yang terbunuh dalam perang tersebut dan terasa memberatkan bagi para shahabat Radhiyallahu Ta’ala ‘anhum untuk menguburkan tiap mayit dalam satu kuburan. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan petunjuk untuk mengumpulkan tiap 2 mayit dalam satu kuburan. Dan adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam setiap didatangkan 2 mayit yang akan dikuburkan, beliau bertanya: “siapa di antara mereka yang paling banyak hafalan AlQur’annya?”, maka ketika disyaratkan kepada salah satu di antara keduanya, yang paling banyak hafalannya akan didahulukan ke dalam liang lahad. (Dikeluarkan oleh Bukhary).

Adapun kebaikan di alam akhirat, dikuatkan dengan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam: “akan dikatakan kepada para Ashhabul Qur’an ketika akan masuk jannah: baca dan naik!, maka kemudian mereka akan membaca (hafalan AlQur’annya) dan naik satu derajat (tingkatan jannah) setiap ayatnya, demikian seterusnya sampai akhir ayat yang ada pada hafalan mereka”. (Dikeluarkan oleh Ahmad).

Dalam lafadz lainnya: “baca dan naik!, teruslah membacanya sebagaimana kamu membacanya ketika di dunia, karena sesungguhnya posisi kamu di jannah ini ada pada akhir ayat yang kamu baca ketika di dunia”. (Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-tirmidzi dan An-Nasai).

Maka bersemangatlah engkau -semoga Allah Ta’ala menjagamu- untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan ini, dan kerahkanlah segala kemampuanmu dalam hal ini, dan tetaplah meminta kepada Rabb-Mu taufiq dan kekuatan sebelum, selama dan sesudah engkau membaca, menghafal serta meng-ilmui AlQuran dengan pemahaman makna-maknanya. InsyaAllah engkau akan melihat kemudahan yang Allah Ta’ala turunkan dan Allah Ta’ala juga akan melapangkan dadamu. Dan hendaknya dalam hal demikian engkau berlomba-lomba untuk mendapatkannya.

4. Semangat untuk melanggengkan (mudaawamah) belajar dan mengajarkan AlQur’an, dikarenakan langgengnya kebaikan-kebaikan yang mulia ini dan memperingatkan diri dari perkara-perkara yang bisa mengotori atau melemahkan semangat ini. 

Diceritakan bahwa pernah ada yang masuk ke kediaman Karaz ibnu Wabrah, dan dia sedang dalam keadaan menangis, dia berkata: “sungguh pintu telah terbuka lebar dan sutrah telah diangkat, tapi tidak ada seorangpun yang masuk ke tempatku, dalam keadaan aku sudah lemah untuk mendatangkan hafalan 1juz-pun, dan tidaklah aku mengira melainkan hal ini terjadi karena dosa-dosaku, akan tetapi aku tidak tahu dosa yang mana itu?” (Tarikh Jurjaan, bab.338).

5. Bahwasanya termasuk dari buahnya kebaikan-kebaikan tersebut adalah kemudahan didalam mendatangkan suatu dalil dan hujjah-hujjah dari AlQur’an. Berkata Abu ‘Abdillah bin Basyr AlQathan:
“tidaklah aku melihat orang yang lebih bagus dalam mendatangkan dalil-dalil yang diinginkan dari ayat-ayat AlQur’an daripada Abi Sahl binZiyaad, dan dia adalah tetangga kami, dan dia juga seseorang yang melanggengkan shalat malam dan membaca AlQur’an. Maka, dikarenakan banyaknya dars-dars yang diadakannya, seolah-olah AlQur’an itu selalu berada di depan matanya.” (Siyar A’lami AnNubala, 15/521).
6. Termasuk juga dari buahnya kebaikan-kebaikan tersebut adalah keberkahan didalam mewujudkan ilmu-ilmu dan selainnya. Al-faqh Ibrahim ibnu ‘AbdilWaahid Al-Maqdisy mewasiatkan kepada ‘Abbas ibnu ‘AbdilDaayim:
 “perbanyaklah olehmu membaca AlQur’an dan jangan engkau tinggalkan, karena hal itu akan memudahkan engkau dalam mencapai cita-citamu”. Berkata Al-Maqdisy: “aku melihat perkara itu dan mencobanya, maka ketika aku banyak membaca AlQur’an, menjadi mudah bagiku dalam mendengar hadits-hadits dan banyak menuliskannya. Sebaliknya, jika aku tidak banyak membaca AlQur’an, maka hal yang demikian tidak menjadi mudah bagiku.”.
7. Bahwasanya termasuk dari suatu kelaziman, bahwa kesuksesan dengan kebaikan-kebaikan tersebut akan menampakkan bekas-bekas keteladanan (qudwah) dari orang yang mempelajari AlQur’an.

Al-Imam Adz-Dzahabiy Rahimahullahu Ta’ala men-shifatkan sebagian ahlul qur’an yang beliau ketahui di zamannya dengan perkataan-perkataan berikut:
  • Ibrahim ibnu Falah, adalah beliau seorang yang shalih, baik, tenang dan berwibawa. Beliau juga seorang yang bagus pembawaannya, bagus pengetahuannya tentang hadits, banyak memiliki keutamaan dan dikenal dengan pendalilan-pendalilannya dalam perkara-perkara keagamaan. (Ma’rifat AlQura’ AlKibaar, pasal.569). 
  • Yahya bin Ahmad, adalah beliau seorang yang mempunyai bashirah dalam ilmu qira’ah, sempurna ketenangannya, bagus agamanya dan banyak sekali ketawadhuan dan sifat malunya. (Ma’rifat AlQura’ AlKibaar, pasal.594). 
  • Abu Bakar bin Muhammad, adalah beliau seorang syaikh yang bagus dan baik, yang membuat orang-orang di sekelilingnya merasa tenang dan aman. Pada diri beliau juga terkumpul keutamaan, kehormatan dan ketinggian. Beliaulah sebaik-baik syaikh. (Ma’rifat AlQura’ AlKibaar, pasal.595). 
  • Abu Bakar bin Yusuf, adalah beliau seorang yang banyak mengerti tentang qira’ah dan menegakkan AlQur’an pada dirinya dengan mengamalkannya. Pada dirinya terkumpul keutamaan, banyak kebaikannya, bagus kecintaannya terhadap sesama, pendiam, kokoh keagamaannya dan sempurna keadilannya. (Ma’rifat AlQura’ AlKibaar, pasal.595-596). 
  • Ahmad bin Mu’min, adalah beliau termasuk dari sebaik-baik masysyaikh dalam perkara keagamaannya, ketawadhuannya dan keutamaan-keutamaan lainnya. Dan beliau juga mengenal ilmu qira’ah dengan baik. 
8. Perkataan: تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ, menunjukkan perlunya kesabaran yang tinggi atas seorang pengajar dan pelajar AlQur’an, dikarenakan hal ini termasuk dari medan untuk berjihad (jihadun nafs), yang akan menghasilkan kesuksesan dan kebahagiaan, sebagaimana firman-Nya Ta’ala: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al’Ankabuut:69).

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma telah berkutat di dalam surat AlBaqarah selama bertahun-tahun (muqaddimah fii Ushul At-Tafsiir, karya Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah).

Berkata Abu Bakar ibnu ‘Iyaasy:
“aku membaca AlQur’an dihadapan ‘Aashim ibnu Abi Najuud, adalah beliau memerintahkan aku untuk membaca tidak lebih dari 1ayat setiap harinya, tidak boleh ditambah dan beliau berkata: “sesungguhnya ini akan mengokohkan hafalan bagi kamu”. Maka ketika aku khawatir bahwa beliau akan wafat sebelum aku menyelesaikan AlQur’an (karena hanya 1ayat per-hari), aku meminta dan terus meminta kepada beliau untuk menambah jatahku sampai akhirnya aku di-ijinkan 5ayat setiap harinya.” (Thabaqaat Al-Hanaabilah, 1/42).
Aku berkata (Syaikh As-Sadhan, penulis kitab ini):
“…adapun permasalahan ini (yakni batasan 1ayat per-hari bukanlah suatu keharusan, karena hal ini berbeda-beda sesuai dengan apa-apa yang dipandang bermamfa’at oleh si pengajar atas muridnya. Maka semoga rahmat Allah Ta’ala atas salaf-salaf kita yang sangat besar semangatnya dalam perkara ini!”.
Dan termasuk dari besarnya semangat mereka dalam mengajarkan AlQur’an adalah seperti apa yang datang dalam biografi Muhammad ibnu Ahmad Al-Muqriy. Bahwasanya beliau selama bertahun-tahun -dalam masa yang sangat panjang- mengajarkan AlQur’an kepada orang-orang buta, karena mengharap wajah Allah Ta’ala semata, sehingga banyaklah manusia yang meng-khatamkan AlQur’an di sisi beliau dan banyak pula riwayat-riwayat tentang qira’ah yang mutawaatir dari beliau, yang berlangsung terus dalam jangka waktu yang panjang. Berkata Al-Qadhiy Abu Al-Hasan: 
"adalah beliau membacakan AlQur’an kepada murid-muridnya selama kurang-lebih 60tahun-an, dan beliau terus men-talqin ummat manusia kepada AlQur’an ini”.
Dan termasuk dari hal ringan yang perlu disebutkan, berkenaan dengan semangat dan kesabaran yang berlipat seorang pelajar dalam mempelajari Al-Qur’an, adalah apa yang disebutkan oleh Al-Imam Adz-Dzahabiy Rahimahullahu Ta’ala dalam biografi Sulaim ibnu Ayyub, sebagaimana teks yang beliau (Al-Imam Adz-Dzahabiy) tulis: “berkata Sahal bin Bisyr: Sulaim mengabarkan kepadaku bahwa dahulu pada masa kecilnya -di kota Ar-Rayyi- , yakni pada saat dia berumur 10tahun. Dia menghadiri beberapa majelis syaikh-syaikh ahli qira’ah dan dia mentalqin dirinya dalam ilmu AlQur’an. Sulaim berkata: maka -dalam suatu majelis-, seorang syaikh berkata kepadaku: “maju dan bacalah!”, maka akupun bersungguh-sungguh untuk membacakan surat Al-Fatihah di hadapan syaikh tersebut, akan tetapi ternyata aku tidak mampu dikarenakan kelunya lisanku saat itu. Maka bertanya syaikh kepadaku: “apakah kamu masih mempunyai ibu?”, aku menjawab: “ya”, kemudian syaikh berkata: “pulanglah dan katakan kepadanya: do’akan aku agar Allah Ta’ala memberikan rezki kepadaku berupa qira’ah dan ilmu AlQur’an”, aku menjawab: “baiklah”. Maka aku pulang dan meminta ibuku untuk mendo’akanku, maka akupun dido’akannya. Kemudian ketika aku beranjak besar, aku safar ke kota Baghdad, di sana aku belajar bahasa arab dan fiqh. Setelah cukup aku mempelajarinya, akupun kembali ke kota Ar-Rayyi, dan di sana aku mengajarkan kitab Mukhtashar Al-Muzaniy di sebuah perguruan tinggi. Dalam suatu majelis yang aku bawakan, syaikh yang dulu pernah menyuruhku meminta do’a kepada ibuku hadir di sana, dan ia menyalamiku dalam keadaan ia tidak mengenalku lagi. Maka syaikh itupun ikut mendengarkan pengajaranku dan ia tidak mengetahui apa yang aku bicarakan, maka kemudian syaikh tadi bertanya kepadaku: “kapan ilmu yang seperti ini dipelajari?” (syaikh ini mengungkapkan keheranannya akan apa-apa yang sedang diajarkan oleh Sulaim ibnu Ayyub). Maka akupun ingin mengatakan kepadanya: “jika engkau mempunyai ibu katakanlah kepadanya untuk mendo’akanmu”, akan tetapi aku malu untuk mengatakannya”. (Siyar A’laam An-Nubalaa, 17/645-646).

9. Keutamaan majelis ta’lim AlQur’an, dan yang menguatkan hal ini adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “tidaklah suatu kaum berkumpul dalam satu rumah dari rumah-rumah Allah Ta’ala -yang mereka membaca AlQur’an dan mengkaji makna-makna di dalamnya di antara sesama mereka-, melainkan akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan rahmat yang meliputi mereka, para Malaikat akan menaungi mereka dan Allah Ta’ala akan menyebut nama-nama mereka di sisi-Nya.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawwud, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu).

10. Bahwasanya mempelajari AlQur’an dan mengajarkannya di mesjid-mesjid adalah amalan mutawwatir yang terus diamalkan kaum muslimin dari satu generasi ke generasi lainnya, bersamaan dengan perbedaan zaman-zaman mereka dan berjauhannya kota-kota mereka. Termasuk saksi dari generasi awwal terhadap masalah ini adalah perkataan Suwaid ibni ‘Abdil’Aziiz: “adalah dahulu Abu Darda Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu jika selesai melaksanakan shalat shubuh di mesjid jami Damaskus, beliau mengumpulkan manusia untuk membaca AlQur’an. Maka beliau membuat kelompok-kelompok dengan 10-orang tiap kelompoknya, dan disetiap kelompok tadi ada satu orang yang memimpin , yakni yang paling pandai membaca di kelompok tersebut. Dan sementara beliau berdiri di mihrab dan terus memantau dengan pandangannya. Maka jika salah seorang di antara mereka salah dalam qira’ahnya, mereka menyerahkan perkaranya kepada pemimpin kelompok tadi, dan apabila si pemimpin kelompok tadi juga jatuh dalam kesalahan, maka mereka menyerahkan perkaranya kepada Abu Darda Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu untuk ditanyakan tentang perkara tersebut. Adalah Ibnu ‘Amir salah seorang pemimpin kelompok yang mempunyai anggota 10-orang tadi -demikian dikatakan oleh Suwaid ibni ‘Abdil’Aziiz- maka ketika Abu Darda Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu wafat, beliau digantikan oleh Ibnu ‘Amir”. 

Dari Sam ibni Musykim berkata:
“pernah Abu Darda Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata kepadaku: “hitunglah jumlah orang-orang yang membacakan AlQur’an di sisiku!”, maka akupun menghitung mereka dan mendapatkan 1600 sekian orang, dan di setiap 10-orang di antara mereka terdapat seorang pemimpin yang paling bagus bacaannya. Dan adalah Abu Darda Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berdiri memantau mereka, dan jika ada salah seorang di antara mereka (yakni kelompok-kelompok yang beranggotakan masing-masing 10-orang tersebut) didapati bagus bacaannya, maka orang tersebut berpindah setoran bacaan AlQur’an-nya kepada Abu Darda Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu (Ma’rifat AlQura’ AlKibaar, pasal.38-39).
Faidah: Termasuk dari pengaruh yang besar dan mulia dari mempelajari AlQur’anul Kariim:
Dahulu ketika orang-orang Arab (kaum muslimin) memasuki negeri AlMaghriby (yakni Negara-negara Afrika), yang pertama kali dibangun adalah rumah-rumah pemukiman dan mesjid-mesjid. Kemudian setelah itu, mereka mulai memberikan perhatian kepada anak-anak kecil (yakni anak-anak kaum asli afrika) dan membuatkan suatu tempat sederhana untuk mengumpulkan dan mengajarkan mereka AlQur’an. Dan pembangunan-pembangunan yang dilakukan kaum muslimin dari sejak awwal mereka memasuki negeri AlMaghriby ini menjadikan sebab tersebarnya bahasa arab di tengah-tengah penduduk asli afrika. Dan hal ini dikarenakan keutamaan dari Allah ‘Azza wa Jalla yang memberikan keutamaan kepada kaum muslimin (yang pertama kali berdakwah di sana) dengan ketinggian akhlaq dan keikhlashan dalam amalan-amalan mereka, sehingga mereka meninggalkan pengaruh-pengaruh yang baik bagi jiwa anak-anak barbar tersebut, di mana anak-anak tersebut terus-menerus mengulangi dan membawa ke mana-mana pengaruh yang baik ini, yang mereka saksikan dari guru-guru mereka. Telah berkata salah seorang lelaki dari kaum barbar tersebut: “adalah Sufyan ibni Wahhab -shahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam- melewati kami, dan kami saat itu adalah anak-anak di kota Qaerawaan. Beliau Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu memberikan salam kepada kami -di mana kami saat itu sedang berada di tempat kami belajar-, dan beliau saat itu memakai imamah yang diulurkan ke belakang”. (faidah yang diinginkan dari cerita ini adalah betapa seorang barbar yang bahasa aslinya bukan bahasa arab, bisa mengungkapkan cerita di atas dengan ungkapan berbahasa arab yang rinci dan indah,-pen.)

Dan bahwasanya tempat-tempat ta’lim ilmiyyah itu benar-benar menjadi sebab tersebarnya bahasa arab dengan cepat di tengah-tengah kaum barbar tersebut, di mana mereka menyambut dengan hangat -kedatangan- bahasa arab yang fasih itu -bahasanya kitabullah AlHakiim-. Dan mereka menemukan dalam bahasa arab itu suatu jalan untuk menyatukan kalimat-kalimat (bahasa) mereka, hal ini dikarenakan mereka -yakni para penduduk negeri almaghriby- sangat memerlukan sekali satu bahasa untuk menyampaikan dan menerima pemahaman, untuk berdialog dan juga sebagai jalan untuk menuliskan apa-apa yang mereka inginkan.

Dan dikarenakan bahwasanya bahasa arab adalah bahasanya alQur’anul Kariim, maka semakin bertambahlah keimanan mereka terhadap islam juga bertambah besar keinginan mereka untuk membaguskan diri dalam perkara pembacaan alQur’an, dan hal ini menjadikan motivasi mereka dalam menerima pembelajaran bahasa arab dan juga membaguskan lisan-lisan mereka dalam berbahasa arab. Dan juga perkara ini membawa pengaruh baik bagi penduduk kaum barbar tersebut, yakni dengan berkurangnya pengaruh kebudayaan-kebudayaan yunani dan romawi di negeri almaghriby, sehingga tidak tersisa pengaruh kebudayaan-kebudayaan dari kedua negeri kafir tersebut melainkan sedikit sekali, diantaranya pemandangan (bangunan-bangunan) kuno seperti spinx dan lainnya. (AlMuassis AlMaghrib Al’Araby, karya Musa bin Nashr).

Untuk faedah lebih lengkap dengan faedah-faedah tambahan berkenaan dengan hadits di atas InsyaAllah Ta’ala bisa didownload dibawah ini:

Demikian semoga bermanfaat dan semoga menumbuhkan rasa cinta kita kepada Al-Quranul Karim...

No comments:

Powered by Blogger.